Pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kebaikan seseorang, baik terhadap dirinya, pergaulannya dengan keluarga, masyarakat maupun dalam tataran dunia.
Akan tetapi seringkali orang kurang tepat
dalam memaknai pendidikan itu sendiri. Misalnya, ada sebagian orang yang
mendefinisikan pendidikan adalah di bangku sekolah, memperoleh gelar, dan lain
sebagainya. Hal ini tiada lain disebabkan karena orang tidak mau menghayati
akan pengertian hakiki pendidikan.
Pendidikan dalam kamus besar
bahasa Indonesia adalah ”proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik;”[1].
Para pakar pendidikan Islam berbeda dalam
mendefinisikan pendidikan. Namun, secara umum 3 istilah yang digunakan untuk
mengistilahkan pendidikan[2],
yaitu :
1.
Ta’lim ( تعليم )
2.
Ta’dib ( تأديب )
3.
Tarbiyah ( تربية )
Pertama,
berasal dari istilah Ta’lim ( تعليم ) berasal dari kata عَلَّمَ – يُعَـِلِّمُ - تَعْلِيْمًا “allama – yuallimu – ta’liman sebagaimana firman Allah ;
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
(5)
“ Dia yang mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahui “ (Q.S. al-Alaq : 5)
‘aallama
berarti mengajar. Jadi, lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan dan keterampilan.
At-Ta’lim
adalah proses transfer ilmu pengetahuan yang menghasilkan pemahaman yang baik
sehingga mampu melahirkan sifat-sifat dan sikap positif dalam kehidupan
sehari-hari[3].
Sifat dan sikap positif yang dimaksud adalah ikhlas, percaya diri, kepatuhan,
pengorbanan, dan keteguhan.
Kedua, berasal
dari istilah Ta’dib ( تأديب )berasal dari kata
adaba ya’dubu yang berarti melatih, mendisiplinkan diri untuk
berperilaku yang baik dan sopan santun.
Secara terminologi Ta’dib merupakan
usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa sehingga mendorong
dan memotivasi setiap individu untuk berperilaku dan berperadaban yang baik
sesuai yang diharapkan.[4]
Menurut M. Jindar Wahyudi konsep Ta’dib adalah konsep yang
paling tepat sebagai padanan pendidikan Islam[5],
karena struktur ta’dib sudah mencakup unsur ilmu, instruksi (ta’lim) dan
pembinaan yang baik. Hal ini berbeda dengan pendapat Abdurrahman
Nahlawy yang memilih tarbiyah daripada ta’dib.
Ketiga, pendidikan
berasal dari padanan bahasa arab التربية ”tarbiyah”. Abdurrahman Nahlawy menyebutkan[6] bahwasannya kata ”tarbiyah” secara etimologi berasal
dari tiga asal kata, Yaitu ربا rabaa يربو
yarbuu yang berarti bertambah dan
berkembang, kedua
dari kata ربي يربي rabiya yarbiy yang berarti tumbuh. Dan
yang ketiga رب يربي rabba-
yurabbi yang
berarti memperbaiki atau membenahi.
Manusia perlu di bantu agar ia
berhasil menjadi manusia[7].
Heri jauhari menyebutkan
bahwasannya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendidik
manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta serta memiliki potensi atau
kemampuan sebagaimana mestinya[8].
Menurut Hasan al-Banna
–sebagaimana dikutip A. Susanto- konsep pendidikan islam meliputi tiga sisi,
yaitu pengembangan potensi jasmani, akal dan hati sebagai tiga unsur pokok yang
dimiliki manusia dan sekaligus sebagai pewarisan kebudayaan Islam[9].
Hamka berpendapat pendidikan
terbagi menjadi dua. pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk
pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. kedua,
pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan
ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan agama, kedua unsur tersebut
memiliki kecendrungan untuk berkembang. Hal ini sebagaimana disadur oleh
A.Susanto dalam Pemikiran pendidikan Islam[10].
B. AL-QUR’AN
SEBAGAI KONSEP PENDIDIKAN
Al-Qur’an
secara etimologi berasal dari kata qaraa yang berarti bacaan atau sesuatu
yang di baca. Secara terminologi Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.,
di baca dan diriwayatkan secara mutawatir[11], dan ternilai beribadah dengan membacanya
yang di mulai dari surat al-Fatihah diakhiri dengan surat an-Nass.
Islam adalah agama yang mengajak
pemeluknya untuk selalu belajar dan mengembangkan diri. Jikalau kita
memperhatikan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah tiada lain adalah ”Iqra”
’bacalah’.
Konsep
ini menunjukkan bahwa langkah awal dari pengembangan diri manusia adalah
pendidikan, yaitu perintah membaca, mengkaji, menganalisa. Dan kesemuanya itu
tiada lain adalah proses dari pendidikan.
Maka dari itu, jelaslah bahwasannya Islam
adalah agama yang mengajak umatnya untuk selalu belajar dan mengembangkan diri.
Hal ini senada dengan arti pendidikan menurut ustadz Abdurrahman an-Nahlawy dalam
”tarbiyah Islamiyah, asaasuha wa usuuluha wa ahdafuha” pendidikan dalam
artian etimologi bisa berarti namaa – yanmuu[12] berarti perkembangan.
Konsep
ini menunjukkan bahwa langkah awal dari pengembangan diri manusia adalah
memahami dan mendalami kebenaran yang harus selalu dilandasi dengan iman kepada
Allah Swt.
Dr.
M. Nasir budiman mengemukakan[13]; bahwasannya pendidikan merupakan
interpretasi dari tiga kosa kata. pertama yaitu tarbiyah yang mana cenderung
dimaknai sebagai pendidikan yang bersifat pengasuhan dan pembinaan. Kedua ta’dib
dimaknai pendidikan yang lebih terfokus pada moral (akhlakul karimah), dan
ketiga adalah ta’lim banyak dimaknai sebagai pendidikan yang dapat
mensucikan qalb (membersihkan jiwa), sehingga dengan mudah akan memperoleh
”hikmah”.
Dari
hal inilah menunjukkan bahwa pendidikan mengacu ke arah penyadaran subjek didik
(manusia) baik berupa kesadaran intelektual ataupun spiritual. Dampak dari
keduanya adalah ilmu an-Nafi’ (ilmu yang bermanfaat), yaitu ilmu yang mampu
memperkuat iman, dan amal bisa dikatakan sholih manakala didasarkan pada ilmu
dan iman.
Diantara
fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk (al-huda), penerang jalan hidup
(bayyinat), pembeda antara yang benar dengan yang salah (furqan),
penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (mau’izah),
dan sumber informasi (bayan). Sebagai sumber informasi Al-Qur’an
mengajarkan banyak hal kepada manusia : dari persoalan keyakinan, moral,
prinsip-prinsip ibadah dan muamalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan.
Mengenai
ilmu pengetahuan Al-Qur’an memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk
memperhatikan dan meneliti alam sebagai manifestasi kekuasaan Allah. Dari hasil
pengkajian dan penelitian fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pemahaman ini, Al-Qur’an berperan sebagai motivator dan inspirator
bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya. Sehingga, kita tidak mungkin memungkiri
bahwasannya Al-Qur’an merupakan konsep pendidikan.
Di
dalam Al-Qur’an kita menemukan kerangka dasar yang dapat dijadikan pedoman
dasar bagi pelaksanaan pendidikan, dan akan menjadi pedoman dasar pendidikan
itu sendiri. Kerangka
dasar tersebut adalah:
1. Sesuai
tuntunan al-Qur’an. bahwasannya yang menjadi inti pendidikan (intra-curiculer)
adalah ”tauhid” dan harus dimantapkan dengan unsur pokok yang tidak dapat di
rubah.
Dr. M. Nasir budiman mengungkapkan
bahwasannya tauhid merupakan esensi dan inti ajaran Islam, merupakan nilai
dasar dari realitas dan kebenaran yang universal untuk semua tempat dan waktu
dari sejarah nasib manusia[14].
Sehingga kita dapat menyimpulkan,
lapangan pendidikan Islam adalah ketauhidan dalam seluruh dimensi kehidupan
umat manusia, dalam hubungan vertikal ; hubungan antara manusia dengan Allah,
maupun aspek horizontal ; hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam
sekitarnya. Tauhid semacam inilah yang dapat menyusun pergaulan secara harmonis
sesamanya. Termaasuk didalamnya proses pendidikan
2. Perintah Membaca Ayat-ayat Allah.
Sebagaimana
wahyu pertama kali diturunkan kepada Rasulullah sallallahu ’allaihi
wassalam. Dalam surat al-Alaq ayat 1 sampai dengan 5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (Q.S. al-Alaq: 1-5).
Apabila kita melihat lebih lanjut
ayat ini, menunjukkan bahwa ayat pertama yang kemudian dikembangkan dalam
bentuk ilmu-ilmu yang berhubungan dengan wahyu Allah yang termuat dalam
al-Qur’an.
ayat yang kedua, dikembangkan
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan diri manusia sebagai makhluk ciptaan
oleh Allah.
Kemudian ayat selanjutnya, berhubungan alam sekitar dan amal. Ketiga hal
ini jiwanya adalah tauhid[15]. Karena pada
hakikatnya segala pengetahuan adalah datangnya dari Allah, tetapi cara
penyampaiannya ada yang langsung, ada yang melalui pemikiran manusia maupun
pengalaman indra yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Menururt Syahidin ; bahwasannya
prinsip pendidikan Qur’ani mempunyai 4 prinsip mendasar yaitu : prinsip kasih
sayang, keterbukaan, keseimbangan (harmoni) dan prinsip integralitas[16].
Untuk
mengetahui konsep pendidikan dalam Al-Qur’an maka setidaknya kita menelusuri
beberapa unsur, yaitu:
a.
unsur tujuan;
b.
unsur subjek didik (manusia) dan pendidik;
c.
alat pendidikan dan budaya dalam masyarakat.
a. Tujuan Pendidikan menurut
al-Qur’an
Tujuan
adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan
selesai; artinya tujuan merupakan kehendak seseorang untuk mendapatkan dan
memiliki, serta memanfaatkannya bagi kebutuhan dirinya sendiri atau untuk orang
lain. Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit akan tujuan pendidikan,
namun hal ini tersirat dalam beberapa ayat. Seperti firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30) وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
(Q.S. al-Baqarah: 30-31)
Dari
kedua ayat diatas kita dapat memahami bahwasannya Allah menciptakan manusia
(Adam) di muka bumi ini sebagai khalifah-Nya. Sehingga Adam dibekali dan
diajarkan oleh Allah al-Asma’ kullaha (nama-nama benda-benda seluruhnya) yang dapat memberikan kesadaran
kepada Adam akan esensi penciptaan.
Kesadaran ini bukan hanya kesadaran
intelektual terpisah dari kesadaran spiritual; yaitu kesadaran spiritual yang
mendorong, membimbing, dan mempertajam intelek dengan menanamkan dalam diri
Adam perasaan ta’dhim dan hormat kepada Allah dan juga membuatnya mampu
menggunakan pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya sendiri
dan kepentingan umat manusia.
Sedangkan kesadaran intelektual
terhadap Al-Qur’an merupakan kemampuan kognitif yang meliputi pemahaman
terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an ataupun nilai dari alam
semesta sebagai interpretatasi dari nilai-nilai tersebut.
Prof.
Dr. Said Agil Husin Al Munawar menyebutkan bahwasannya secara normatif, tujuan
yang ingin di capai dalam proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam
pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek yang harus di bina dan dikembangkan
oleh pendidikan[17].
Pertama dimensi spiritual, kedua dimensi budaya, dan ketiga
dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan..
Pertama
dimensi spiritual yaitu iman, taqwa, dan akhlak mulia (yang tercermin dalam
ibadah dan muamalah) hal ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak
merupakan kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak
manusia akan berada dalam kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata
nilai dalam kehidupannya.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
” Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S.
al-A’raf: 179)
Maka
dari itulah Allah mengutus Rasulullah Swt. sebagai sumber akhlak yang harus
diteladani. Seperti sabdanya :
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق " رواه البخاري والمسلم
” Sesungguhnya aku diutus tiada lain
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.(H.R. Bukhari Muslim)
Jadi,
pendidikan spiritual dalam Islam tersimpul dalam prinsip berpegang teguh pada
kebaikan dan kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran. dimana hal ini
merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu
ketakwaan, ketundukan, dan beribadah kepada Allah Swt...
Kedua, dimensi budaya yaitu
kepribadian yang mantap dan mandiri, dan tanggung jawab dalam masyarakat.
Secara universal dimensi ini menitikberatkan pada pembentukan kepribadian
muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan faktor dasar
(bawaaan) dan faktor ajar (lingkungan). Faktor dasar dikembangkan dan
ditingkatkan kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan
bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan dengan
cara mempengaruhi individu melalui proses dan usaha membentuk kondisi yang
mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma-norma Islam seperti,
teladan, nasehat, anjuran, pembiasaan, hukuman dan pembentukan lingkungan
serasi.
Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa
kepada kemajuan yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja,
profesional, inovatif, dan kreatif.
Isyarat
Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu
pengetahuan hanyalah salah satu bukti kemukjizatannya. Ajarannya Al-Qur’an
tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science)
yang bersifat fisik dan empirik sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada
hal-hal nomena yang yang tidak terjangkau oleh rasio manusia[18].
Sebagaimana firman-Nya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan
terusir.” (Q.S. al-Israa: 18).
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”(Q.S.
ar-Rum: 7).
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ (38)
وَمَا لَا تُبْصِرُونَ (39)
“Maka
Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu
lihat”. (Q.S. al-Haqqah: 38-39).
Sehingga disebutkan bahwasaannya
nilai-nilai Qur’ani secara garis besar adalah nila-nilai kebenaran (metafisis
dan saintis) dan nilai moral. kedua nilai Qur’ani ini akan memandu manusia
dalam membina kehidupan dan penghidupannya[19].
Tujuan pendidikan bagi manusia tiada
lain adalah mempersiapkan manusia yang ’abid, yang selalu menghambakan
diri kepada Allah SWT... Hal ini senada dengan firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
(Q.S. adz-Dzaariyaat:
56).
Ibadah bukanlah hanya sebatas
menunaikan sholat, membayar zakat, berpuasa, haji setelah mengikrarkan dua kalimat
syahadat. Akan tetapi ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek
kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan dan
perasaan bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam menghambakan diri kepada
Allah Swt.
Konferensi sarjana muslim dunia pertama
tentang pendidikan merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
”Pendidikan seharusnya bertujuan
menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui
latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia.
Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia
dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah,
linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua
aspek untuk mencapai tujuan dan kesempurnaan. Sehingga tujuan akhir pendidikan
muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat
individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya[20].
b. Unsur Subjek Pendidik
(manusia)
manusia
dalam pandangan Al-Qur’an adalah makhluk unik (luar biasa) lantaran
kedudukannya sebagai khalifah, sebagaimana penyusun sebutkan pada pembahasan
sebelumnya.
Manusia mempunyai fitrah yang baik, kemampuan
berkehendak (free will), badan raga, ruh dan akal. Dengan demikian,
pendidikan harus mengembangkan atribut-atribut manusia tersebut.
Demikian
pula pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman yang menyadari
dan memperhatikan komponen-komponen fitrahnya, tanpa mengorbankan salah satu demi
pengembangan yang lain.
Al-Qur’an
banyak menyebutkan manusia, dan dalam penyebutannya tersebut mempunyai dampak
edukatif (pedagogik). Menurut Dr. Nasir Budiman, setidaknya ada empat dampak
edukatifnya[21]. yaitu sebagai berikut:
1. Manusia mempunyai potensi dan
sumber daya manusia. Allah telah memberikan akal, lubb (qalb dan fuad),
hilm (santun) dan lain sebagainya. Di samping itu Allah juga memberikan pendengaran,
penglihatan dan alat gerak dan perasa. sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ
لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ
هُمُ الْغَافِلُونَ
” Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
(Q.S.
al-A’raf: 179)
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”(Q.S. an-Nahl: 78).
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
“(Tuhan)
Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia.
Mengajarnya pandai berbicara.” (Q.S.
Ar-Rahman: 1-4).
2. Manusia di
beri kebebasan berfikir; dalam berfikir terhadap segala sesuatu;. sehingga
mereka dapat mencari sendiri, menggali, mendalami dan menganalisis atau
mengsistensiskan pergulatan fikirannya terutama tentang kejadian dirinya. Alloh berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
” dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya.
sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Q.S. Asy-Syams: 7-10).
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ
سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (9)
” Yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur. (Q.S. as-Sajdah: 7-9).
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
الْحَكِيمُ (32)
” Dan
Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah: 31-32).
3. Manusia berkewajiban mempertanggung-jawabkan atas segala usaha dan
hasil dari proses berfikir. Rasa tanggung-jawab ini mendidik jiwa manusia
supaya sadar, selalu tanggap, terhindar dari kegelinciran, tidak tunduk pada
hawa nafsu, berlaku adil, tidak zalim serta beristiqamah dalam segala tingkah
laku dan urusan kemanusiaan. Makanya Allah mengingatkan kita dengan firman-Nya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
(Q.S. al-Zalzalah: 7-8).
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”. (Q.S.
al-Israa: 36).
4. Pendidikan
dalam Islam menggunakan pendekatan yang rasional, imani, emosional dan
fungsional untuk mengenal jati dirinya yang pada gilirannya nanti akan mengenal
tuhan-Nya.
Jadi,
inti dari konsep pendidikan menurut Al-Qur’an adalah proses pengembangan dan
pembetukan manusia yang selalu berlandaskan tauhid / mengesakan Allah,
beribadah dan membesarkan nama-Nya. Karena Allah tiada menciptakan manusia
kecuali beribadah untuk menyembah-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku
(Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzaariyaat: 56).
c. Alat
Pendidikan dan budaya dalam masyarakat
Alat
pendidikan yang di maksudkan penulis adalah media untuk terlaksananya proses
pendidikan, maka alat disini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk
didalamnya metode pendidikan menurut al-Qur’an. Sehingga metode dan alat
pendidikan dalam masyarakat adalah cara dan segala apa saja yang dapat
digunakan untuk menuntun dan membimbing setiap individu masyarakat dalam usaha
membentuk kepribadian muslim yang diridhai Allah. Oleh karena itu, alat dan
metode pendidikan dalam masyarakat haruslah searah dengan Al-Qur’an dan
as-Sunnah.[22]
Hal
ini mempunyai peranan penting sebab merupakan jembatan yang menhubungkan setiap
individu dengan tujuan pendidikan masyarakat itu tersendiri yaitu terbentuknya
kepribadian muslim sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya.
Dra. Hj. Nur Uhbiyati dan
Drs. H. Abu Ahmadi mengutip pendapat Ustadz Said Ramadhan al-Buwthiy dalam
bukunya yang berjudul “al-Manhajut Tarbawi Farid fil Qur’an” ada tiga
macam asas / dasar yang di pakai Al-Qur’an untuk menanamkan pendidikan,[23] yaitu:
a. Muhkamah
Aqliyah,
mengetuk akal pikiran untuk memecahkan segala sesuatu. Di dalam tingkatan ini
Al-Qur’an menyadarkan setiap akal manusia untuk memikirkan asal-usul dirinya,
mulai dari mula jadinya, kemudian perkembangannya baik fisik maupun akal dan
ilmunya ataupun mental spiritual. Allah menyebutkan Al-Qur’an akal sebanyak 29
kali, pikiran 18 kali, zikr ‘ingatan’ sampai 267 kali, fiqh ‘pemikiran
yang mendalam’ dan ilmu sampai 800 kali (termasuk khusus kata-kata ilmu 105
kali), sehingga berjumlah 1.154 kali Allah menyuruh manusia supaya berhukum
memanfaatkan akal dan ilmunya.
b. Al-Qishas
wat Tarikh,
menggunakan cerita-cerita dan pengetahuan sejarah. Dengan mengemukakan berbagai
cerita / peristiwa, dan dengan membuka lembaran-lembaran di masa lampau, Allah Azza
wa Jalla mengajak manusia supaya bercermin kepada fakta dan data di masa
dahulu itu untuk melihat dirinya. Berbagai cerita dan kisah dalam Al-Qur’an
menghidupkan sejarah-sejarah lama untuk memberanikan hati manusia untuk zaman
yang akan dihadapinya dan mengambil ibrah ‘pelajaran/hikmah’ kejadian
masa lalu demi menyambut masa depan yang gemilang.
c. Al-Isarah
al-Wijdaniyah,
memberikan perangsang kepada perasaan-perasaan. Membangkitkan
rangsangan-rangsangan adalah jalan yang terpendek untuk menanamkan suatu
karakter kepada setiap individu. Dan
perasaan itu terbagi atas tiga macam:
·
Perasaan pendorong, yaitu rasa gembira,
harapan hasrat yang besar, dan semisalnya.
·
Perasaan penahan, yaitu rasa takut (berbuat
jahat), rasa sedih (berbuat dzalim), dan semisalnya..
·
Perasaan kekaguman, yaitu rasa hormat dan kagum, rasa cinta dan pengabdian,
dan lain sebagainya.
Allah menyebutkan tiga
sifat utama bagi pendidik dalam surat al-Fatah ayat ke-8 yaitu:
-
syahidan
(penggerak perasaan-perasaan)
-
Mubasysyiran
(pembawa berita gembira)
[2] Syamsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam ; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktek,(Jakarta :
Ciputat Press), 2002, halmn. 25.
[5] Ibid., halm.56
[6] Abdurrahman Nahlawy, Usul Tarbiyah
wa Asaalibiha fi Bait wal Madrasah walMujtama, (Beirut : Darul Fikri, 1979
M), halmn.12.
[7] Lihat ; Hamid Reza
Alavi, Nearness to God : a Prespective in Islamic
Education, Shahid Bahonar University, Kerman Iran, vol. 103, No.1
Januari-februari 2008, halmn.6
[9] A. Susanto,
Pemikiran Pendidikan Islam, halm.65.
[10] Ibid., halmn.107
[11] lewat perantara lebih dari sepuluh orang dalam tiap periodenya
[12]Abdurrahman an-Nahlawy, tarbiyah Islamiyah, asaasuhu wa usuuluhu wa
ahdafuhu, halmn.12.
[13] Dr. M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Islam, (jakarta:
madani press, 2001), halmn.125
[14] Ibid., h. 4
[15] Ibid., h.4
[16] Syahidin, Menelusuri Metode
Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Bandung : Alfabeta), 2009. Halmn.58
[17] Said Agil, Aktualisasi Nilai-nilai al-Qur’an dalam Sistem Pendidikan
Islam, h.9
[18]Ibid., h.7
[19] Sehmus Demir, On Modernity, Islamic World an
Interpretation of Qur’an, Ekev Akademi Dergisi, Vol.12, 2008., halmn.98
[20] Dr. Ali Ashraf, Horison baru Pendidikan Islam, cet. 3 (Pustaka
Firdaus, 1996), hlmn.2
[21] Nasir budiman, Pendidikan dalam Perspektif al_Qur’an, halmn.23
[22] Nur Uhbiyati dan. Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam (Pustaka Setia),
halmn.136
[23] Ibid., halm.145.
[24] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar pokok pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), halmn.153.