23.2.14

PENDIDIKAN DALAM ISLAM


Pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kebaikan seseorang, baik terhadap dirinya, pergaulannya dengan keluarga, masyarakat maupun dalam tataran dunia.
Akan tetapi seringkali orang kurang tepat dalam memaknai pendidikan itu sendiri. Misalnya, ada sebagian orang yang mendefinisikan pendidikan adalah di bangku sekolah, memperoleh gelar, dan lain sebagainya. Hal ini tiada lain disebabkan karena orang tidak mau menghayati akan pengertian hakiki pendidikan.
Pendidikan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah ”proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik;”[1].
Para pakar pendidikan Islam berbeda dalam mendefinisikan pendidikan. Namun, secara umum 3 istilah yang digunakan untuk mengistilahkan pendidikan[2], yaitu :
1.      Ta’lim    ( تعليم )
2.      Ta’dib  ( تأديب )
3.      Tarbiyah ( تربية ) 

Pertama, berasal dari istilah Ta’lim ( تعليم ) berasal dari kata عَلَّمَيُعَـِلِّمُ - تَعْلِيْمًا   “allama – yuallimu – ta’liman sebagaimana firman Allah ;
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“ Dia yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui “ (Q.S. al-Alaq : 5)
‘aallama berarti mengajar. Jadi, lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan.
At-Ta’lim adalah proses transfer ilmu pengetahuan yang menghasilkan pemahaman yang baik sehingga mampu melahirkan sifat-sifat dan sikap positif dalam kehidupan sehari-hari[3]. Sifat dan sikap positif yang dimaksud adalah ikhlas, percaya diri, kepatuhan, pengorbanan, dan keteguhan.
Kedua, berasal dari istilah Ta’dib  ( تأديب )berasal dari kata adaba ya’dubu yang berarti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
Secara terminologi Ta’dib merupakan usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa sehingga mendorong dan memotivasi setiap individu untuk berperilaku dan berperadaban yang baik sesuai yang diharapkan.[4]
Menurut M. Jindar Wahyudi konsep Ta’dib adalah konsep yang paling tepat sebagai padanan pendidikan Islam[5], karena struktur ta’dib sudah mencakup unsur ilmu, instruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik. Hal ini berbeda dengan pendapat Abdurrahman Nahlawy yang memilih tarbiyah daripada ta’dib.
Ketiga, pendidikan berasal dari padanan bahasa arab التربية tarbiyah”. Abdurrahman Nahlawy menyebutkan[6] bahwasannya kata ”tarbiyah” secara etimologi berasal dari tiga asal kata, Yaitu ربا  rabaa يربو  yarbuu yang berarti bertambah dan berkembang, kedua dari kata ربي يربي  rabiya yarbiy  yang berarti tumbuh. Dan yang ketiga رب يربي rabba- yurabbi yang berarti memperbaiki atau membenahi.
Manusia perlu di bantu agar ia berhasil menjadi manusia[7].
Heri jauhari menyebutkan bahwasannya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta serta memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya[8].
Menurut Hasan al-Banna –sebagaimana dikutip A. Susanto- konsep pendidikan islam meliputi tiga sisi, yaitu pengembangan potensi jasmani, akal dan hati sebagai tiga unsur pokok yang dimiliki manusia dan sekaligus sebagai pewarisan kebudayaan Islam[9].
Hamka berpendapat pendidikan terbagi menjadi dua. pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan agama, kedua unsur tersebut memiliki kecendrungan untuk berkembang. Hal ini sebagaimana disadur oleh A.Susanto dalam Pemikiran pendidikan Islam[10].

B.   AL-QUR’AN SEBAGAI KONSEP PENDIDIKAN
      Al-Qur’an secara etimologi berasal dari kata qaraa yang berarti bacaan atau sesuatu yang di baca. Secara terminologi Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., di baca dan diriwayatkan secara mutawatir[11], dan ternilai beribadah dengan membacanya yang di mulai dari surat al-Fatihah diakhiri dengan surat an-Nass.
      Islam adalah agama yang mengajak pemeluknya untuk selalu belajar dan mengembangkan diri. Jikalau kita memperhatikan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah tiada lain adalah ”Iqra” ’bacalah’.
      Konsep ini menunjukkan bahwa langkah awal dari pengembangan diri manusia adalah pendidikan, yaitu perintah membaca, mengkaji, menganalisa. Dan kesemuanya itu tiada lain adalah proses dari pendidikan.
       Maka dari itu, jelaslah bahwasannya Islam adalah agama yang mengajak umatnya untuk selalu belajar dan mengembangkan diri. Hal ini senada dengan arti pendidikan menurut ustadz Abdurrahman an-Nahlawy dalam ”tarbiyah Islamiyah, asaasuha wa usuuluha wa ahdafuha” pendidikan dalam artian etimologi bisa berarti namaa – yanmuu[12] berarti perkembangan.
      Konsep ini menunjukkan bahwa langkah awal dari pengembangan diri manusia adalah memahami dan mendalami kebenaran yang harus selalu dilandasi dengan iman kepada Allah Swt. 
      Dr. M. Nasir budiman mengemukakan[13]; bahwasannya pendidikan merupakan interpretasi dari tiga kosa kata. pertama yaitu tarbiyah yang mana cenderung dimaknai sebagai pendidikan yang bersifat pengasuhan dan pembinaan. Kedua ta’dib dimaknai pendidikan yang lebih terfokus pada moral (akhlakul karimah), dan ketiga adalah ta’lim banyak dimaknai sebagai pendidikan yang dapat mensucikan qalb (membersihkan jiwa), sehingga dengan mudah akan memperoleh ”hikmah”.
      Dari hal inilah menunjukkan bahwa pendidikan mengacu ke arah penyadaran subjek didik (manusia) baik berupa kesadaran intelektual ataupun spiritual. Dampak dari keduanya adalah ilmu an-Nafi’ (ilmu yang bermanfaat), yaitu ilmu yang mampu memperkuat iman, dan amal bisa dikatakan sholih manakala didasarkan pada ilmu dan iman.
      Diantara fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk (al-huda), penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dengan yang salah (furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (mau’izah), dan sumber informasi (bayan). Sebagai sumber informasi Al-Qur’an mengajarkan banyak hal kepada manusia : dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan muamalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan.
      Mengenai ilmu pengetahuan Al-Qur’an memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam sebagai manifestasi kekuasaan Allah. Dari hasil pengkajian dan penelitian fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman ini, Al-Qur’an berperan sebagai motivator dan inspirator bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya. Sehingga, kita tidak mungkin memungkiri bahwasannya Al-Qur’an merupakan konsep pendidikan. 
Di dalam Al-Qur’an kita menemukan kerangka dasar yang dapat dijadikan pedoman dasar bagi pelaksanaan pendidikan, dan akan menjadi pedoman dasar pendidikan itu sendiri. Kerangka dasar tersebut adalah:
1.      Sesuai tuntunan al-Qur’an. bahwasannya yang menjadi inti pendidikan (intra-curiculer) adalah ”tauhid” dan harus dimantapkan dengan unsur pokok yang tidak dapat di rubah.
            Dr. M. Nasir budiman mengungkapkan bahwasannya tauhid merupakan esensi dan inti ajaran Islam, merupakan nilai dasar dari realitas dan kebenaran yang universal untuk semua tempat dan waktu dari sejarah nasib manusia[14].
            Sehingga kita dapat menyimpulkan, lapangan pendidikan Islam adalah ketauhidan dalam seluruh dimensi kehidupan umat manusia, dalam hubungan vertikal ; hubungan antara manusia dengan Allah, maupun aspek horizontal ; hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Tauhid semacam inilah yang dapat menyusun pergaulan secara harmonis sesamanya. Termaasuk didalamnya proses pendidikan

2.      Perintah Membaca Ayat-ayat Allah.
Sebagaimana wahyu pertama kali diturunkan kepada Rasulullah sallallahu ’allaihi wassalam. Dalam surat al-Alaq ayat 1 sampai dengan 5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
 الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-Alaq: 1-5).
            Apabila kita melihat lebih lanjut ayat ini, menunjukkan bahwa ayat pertama yang kemudian dikembangkan dalam bentuk ilmu-ilmu yang berhubungan dengan wahyu Allah yang termuat dalam al-Qur’an.
            ayat yang kedua, dikembangkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan diri manusia sebagai makhluk ciptaan oleh Allah.
            Kemudian ayat selanjutnya,  berhubungan alam sekitar dan amal. Ketiga hal ini jiwanya adalah tauhid[15]. Karena pada hakikatnya segala pengetahuan adalah datangnya dari Allah, tetapi cara penyampaiannya ada yang langsung, ada yang melalui pemikiran manusia maupun pengalaman indra yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
            Menururt Syahidin ; bahwasannya prinsip pendidikan Qur’ani mempunyai 4 prinsip mendasar yaitu : prinsip kasih sayang, keterbukaan, keseimbangan (harmoni) dan prinsip integralitas[16].
            Untuk mengetahui konsep pendidikan dalam Al-Qur’an maka setidaknya kita menelusuri beberapa unsur, yaitu:
a.       unsur tujuan;
b.      unsur subjek didik (manusia) dan pendidik;
c.       alat pendidikan dan budaya dalam masyarakat.
a. Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an
            Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai; artinya tujuan merupakan kehendak seseorang untuk mendapatkan dan memiliki, serta memanfaatkannya bagi kebutuhan dirinya sendiri atau untuk orang lain. Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit akan tujuan pendidikan, namun hal ini tersirat dalam beberapa ayat. Seperti firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30) وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"    
                                                                                  (Q.S. al-Baqarah: 30-31)
            Dari kedua ayat diatas kita dapat memahami bahwasannya Allah menciptakan manusia (Adam) di muka bumi ini sebagai khalifah-Nya. Sehingga Adam dibekali dan diajarkan oleh Allah al-Asma’ kullaha (nama-nama benda-benda seluruhnya) yang dapat memberikan kesadaran kepada Adam akan esensi penciptaan.
            Kesadaran ini bukan hanya kesadaran intelektual terpisah dari kesadaran spiritual; yaitu kesadaran spiritual yang mendorong, membimbing, dan mempertajam intelek dengan menanamkan dalam diri Adam perasaan ta’dhim dan hormat kepada Allah dan juga membuatnya mampu menggunakan pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan umat manusia.
            Sedangkan kesadaran intelektual terhadap Al-Qur’an merupakan kemampuan kognitif yang meliputi pemahaman terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an ataupun nilai dari alam semesta sebagai interpretatasi dari nilai-nilai tersebut.
      Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar menyebutkan bahwasannya secara normatif, tujuan yang ingin di capai dalam proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek yang harus di bina dan dikembangkan oleh pendidikan[17]. Pertama dimensi spiritual, kedua dimensi budaya, dan ketiga dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan..
      Pertama dimensi spiritual yaitu iman, taqwa, dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan muamalah) hal ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak manusia akan berada dalam kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. al-A’raf: 179)
      Maka dari itulah Allah mengutus Rasulullah Swt. sebagai sumber akhlak yang harus diteladani. Seperti sabdanya :
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق " رواه البخاري والمسلم
” Sesungguhnya aku diutus tiada lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.(H.R. Bukhari Muslim)
Jadi, pendidikan spiritual dalam Islam tersimpul dalam prinsip berpegang teguh pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran. dimana hal ini merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan, dan beribadah kepada Allah Swt... 
Kedua, dimensi budaya yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, dan tanggung jawab dalam masyarakat. Secara universal dimensi ini menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan faktor dasar (bawaaan) dan faktor ajar (lingkungan). Faktor dasar dikembangkan dan ditingkatkan kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan dengan cara mempengaruhi individu melalui proses dan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma-norma Islam seperti, teladan, nasehat, anjuran, pembiasaan, hukuman dan pembentukan lingkungan serasi.
Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif, dan kreatif.
Isyarat Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah salah satu bukti kemukjizatannya. Ajarannya Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science) yang bersifat fisik dan empirik sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal nomena yang yang tidak terjangkau oleh rasio manusia[18]. Sebagaimana firman-Nya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (Q.S. al-Israa: 18).
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
 “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”(Q.S. ar-Rum: 7).
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ (38) وَمَا لَا تُبْصِرُونَ (39)
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat”. (Q.S. al-Haqqah: 38-39).
            Sehingga disebutkan bahwasaannya nilai-nilai Qur’ani secara garis besar adalah nila-nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai moral. kedua nilai Qur’ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya[19].
            Tujuan pendidikan bagi manusia tiada lain adalah mempersiapkan manusia yang ’abid, yang selalu menghambakan diri kepada Allah SWT... Hal ini senada dengan firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzaariyaat: 56).
            Ibadah bukanlah hanya sebatas menunaikan sholat, membayar zakat, berpuasa, haji setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan dan perasaan bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam menghambakan diri kepada Allah Swt.
            Konferensi sarjana muslim dunia pertama tentang pendidikan merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
            ”Pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai tujuan dan kesempurnaan. Sehingga tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya[20].
b. Unsur Subjek Pendidik (manusia)
            manusia dalam pandangan Al-Qur’an adalah makhluk unik (luar biasa) lantaran kedudukannya sebagai khalifah, sebagaimana penyusun sebutkan pada pembahasan sebelumnya.
Manusia mempunyai fitrah yang baik, kemampuan berkehendak (free will), badan raga, ruh dan akal. Dengan demikian, pendidikan harus mengembangkan atribut-atribut manusia tersebut.
            Demikian pula pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman yang menyadari dan memperhatikan komponen-komponen fitrahnya, tanpa mengorbankan salah satu demi pengembangan yang lain.
            Al-Qur’an banyak menyebutkan manusia, dan dalam penyebutannya tersebut mempunyai dampak edukatif (pedagogik). Menurut Dr. Nasir Budiman, setidaknya ada empat dampak edukatifnya[21]. yaitu sebagai berikut:
1. Manusia mempunyai potensi dan sumber daya manusia. Allah telah memberikan akal, lubb (qalb dan fuad), hilm (santun) dan lain sebagainya. Di samping itu Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan dan alat gerak dan perasa. sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ
 لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ
 هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” 
                                                                           (Q.S. al-A’raf: 179)
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
 وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(Q.S. an-Nahl: 78).
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (Q.S. Ar-Rahman: 1-4).
2. Manusia di beri kebebasan berfikir; dalam berfikir terhadap segala sesuatu;. sehingga mereka dapat mencari sendiri, menggali, mendalami dan menganalisis atau mengsistensiskan pergulatan fikirannya terutama tentang kejadian dirinya. Alloh berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
                                                                      (Q.S. Asy-Syams: 7-10).
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ
سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
 وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (9)
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Q.S. as-Sajdah: 7-9).
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
 الْحَكِيمُ (32)
    Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”   (Q.S. al-Baqarah: 31-32).

3.     Manusia berkewajiban mempertanggung-jawabkan atas segala usaha dan hasil dari proses berfikir. Rasa tanggung-jawab ini mendidik jiwa manusia supaya sadar, selalu tanggap, terhindar dari kegelinciran, tidak tunduk pada hawa nafsu, berlaku adil, tidak zalim serta beristiqamah dalam segala tingkah laku dan urusan kemanusiaan. Makanya Allah mengingatkan kita dengan firman-Nya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. al-Zalzalah: 7-8).
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. al-Israa: 36). 

4. Pendidikan dalam Islam menggunakan pendekatan yang rasional, imani, emosional dan fungsional untuk mengenal jati dirinya yang pada gilirannya nanti akan mengenal tuhan-Nya.
            Jadi, inti dari konsep pendidikan menurut Al-Qur’an adalah proses pengembangan dan pembetukan manusia yang selalu berlandaskan tauhid / mengesakan Allah, beribadah dan membesarkan nama-Nya. Karena Allah tiada menciptakan manusia kecuali beribadah untuk menyembah-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzaariyaat: 56).

c. Alat Pendidikan dan budaya dalam masyarakat
            Alat pendidikan yang di maksudkan penulis adalah media untuk terlaksananya proses pendidikan, maka alat disini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk didalamnya metode pendidikan menurut al-Qur’an. Sehingga metode dan alat pendidikan dalam masyarakat adalah cara dan segala apa saja yang dapat digunakan untuk menuntun dan membimbing setiap individu masyarakat dalam usaha membentuk kepribadian muslim yang diridhai Allah. Oleh karena itu, alat dan metode pendidikan dalam masyarakat haruslah searah dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.[22] 
            Hal ini mempunyai peranan penting sebab merupakan jembatan yang menhubungkan setiap individu dengan tujuan pendidikan masyarakat itu tersendiri yaitu terbentuknya kepribadian muslim sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya.
            Dra. Hj. Nur Uhbiyati dan Drs. H. Abu Ahmadi mengutip pendapat Ustadz Said Ramadhan al-Buwthiy dalam bukunya yang berjudul “al-Manhajut Tarbawi Farid fil Qur’an” ada tiga macam asas / dasar yang di pakai Al-Qur’an untuk menanamkan pendidikan,[23] yaitu:
a.      Muhkamah Aqliyah, mengetuk akal pikiran untuk memecahkan segala sesuatu. Di dalam tingkatan ini Al-Qur’an menyadarkan setiap akal manusia untuk memikirkan asal-usul dirinya, mulai dari mula jadinya, kemudian perkembangannya baik fisik maupun akal dan ilmunya ataupun mental spiritual. Allah menyebutkan Al-Qur’an akal sebanyak 29 kali, pikiran 18 kali, zikr ‘ingatan’ sampai 267 kali, fiqh ‘pemikiran yang mendalam’ dan ilmu sampai 800 kali (termasuk khusus kata-kata ilmu 105 kali), sehingga berjumlah 1.154 kali Allah menyuruh manusia supaya berhukum memanfaatkan akal dan ilmunya.
b.      Al-Qishas wat Tarikh, menggunakan cerita-cerita dan pengetahuan sejarah. Dengan mengemukakan berbagai cerita / peristiwa, dan dengan membuka lembaran-lembaran di masa lampau, Allah Azza wa Jalla mengajak manusia supaya bercermin kepada fakta dan data di masa dahulu itu untuk melihat dirinya. Berbagai cerita dan kisah dalam Al-Qur’an menghidupkan sejarah-sejarah lama untuk memberanikan hati manusia untuk zaman yang akan dihadapinya dan mengambil ibrah ‘pelajaran/hikmah’ kejadian masa lalu demi menyambut masa depan yang gemilang.
c.       Al-Isarah al-Wijdaniyah, memberikan perangsang kepada perasaan-perasaan. Membangkitkan rangsangan-rangsangan adalah jalan yang terpendek untuk menanamkan suatu karakter kepada setiap individu. Dan perasaan itu terbagi atas tiga macam:
·         Perasaan pendorong, yaitu rasa gembira, harapan hasrat yang besar, dan semisalnya.
·         Perasaan penahan, yaitu rasa takut (berbuat jahat), rasa sedih (berbuat dzalim), dan semisalnya..
·         Perasaan kekaguman, yaitu rasa hormat dan kagum, rasa cinta dan pengabdian, dan lain sebagainya.
Allah menyebutkan tiga sifat utama bagi pendidik dalam surat al-Fatah ayat ke-8 yaitu:
-          syahidan (penggerak perasaan-perasaan)
-          Mubasysyiran (pembawa berita gembira)
-          Naziran (pembawa peringatan untuk menahan dari kejahatan).[24]


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.263.
[2] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam ; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktek,(Jakarta : Ciputat Press), 2002, halmn. 25.
[3] A.Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, cet.1 (Jakarta : Amzah, 2009) halm.65
[4] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani, (Yogyakarta : Aperion Philotes, 2006), halm. 55
[5] Ibid., halm.56
[6] Abdurrahman Nahlawy, Usul Tarbiyah wa Asaalibiha fi Bait wal Madrasah walMujtama, (Beirut : Darul Fikri, 1979 M), halmn.12.  
[7] Lihat ; Hamid Reza Alavi, Nearness to God : a Prespective in Islamic Education, Shahid Bahonar University, Kerman Iran, vol. 103, No.1 Januari-februari 2008, halmn.6
[8] Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2003), halmn..14
[9] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, halm.65.
[10] Ibid., halmn.107
[11] lewat perantara lebih dari sepuluh orang dalam tiap periodenya
[12]Abdurrahman an-Nahlawy, tarbiyah Islamiyah, asaasuhu wa usuuluhu wa ahdafuhu, halmn.12.
[13] Dr. M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Islam, (jakarta: madani press, 2001), halmn.125
[14] Ibid., h. 4
[15] Ibid., h.4
[16] Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Bandung : Alfabeta), 2009. Halmn.58
[17] Said Agil, Aktualisasi Nilai-nilai al-Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam, h.9

[18]Ibid., h.7
[19] Sehmus Demir, On Modernity, Islamic World an Interpretation of Qur’an, Ekev Akademi Dergisi, Vol.12, 2008., halmn.98
[20] Dr. Ali Ashraf, Horison baru Pendidikan Islam, cet. 3 (Pustaka Firdaus, 1996), hlmn.2
[21] Nasir budiman, Pendidikan dalam Perspektif al_Qur’an,  halmn.23
[22] Nur Uhbiyati dan. Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam (Pustaka Setia), halmn.136
[23] Ibid., halm.145.
[24] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar pokok pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), halmn.153.