23.2.14

Biografi Sayyid Qutb dan karakteristik tafsir fi zilalil Qur'an


Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir[1]. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil  sekaligus pengelola majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu.
Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal Al-Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke sepuluh tahun[2].
Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA). Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya.
Pada tahun 1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan[3].
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris[4].
Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California[5].
Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang diaperoleh selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalahah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna dan Abu A’la al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan Syariat islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang zionisme, salibisme dan kolonialisme[6].

2. KARYA-KARYA SAYYID QUTB
            Sayyid Qutb adalah seorang yang sangat produktif dalam mengisi kazanah keislaman. Banyak sekali karya-karya beliau sebagai sumbangsihnya dalam membumikan Islam di dunia ini, terlebih di masa kontemporer. Bahkan di dalam penjara beliau juga tetap menulis dan menghasilkan buku-buku dan tafsir. Diantara karya-karya beliau sebagai berikut[7] :
  1. Fi Dzhilall Qur’an
Merupakan salah satu kitab tafsir yang berpengaruh kuat di era modern ini. Yang sangat menonjolkan akan pergerakan Islam. Tafsir ini beliau selesaikan dalam penjara[8].
  1. Hadza Din
  2. Al-Mustaqbal Li Hadza Ad-Din
  3. Khasahisut  Tashawwuril Islami
  4. Ma’alim Fi Thariq
  5. Al-Taswir Al-Fanni Fil Qur’an
  6. Musyahadatul Qiyamah Fil Qur’an
  7. Al-Islam Wa Musykilatul Hadharah
  8. Al-Adalah Al-Ijtima,Iyah Fil Islam
  9. As-Salam Al-Alami Wal Islam
  10. Kutub Wa Syahshiyat
  11. Asywak
  12. An-Naqdil Adabi Ushuluhu Wa Manahijuhu
  13. Nahwa Mujtama’ Islami
  14. Thiflun Minal Qaryah
  15. Al-Athyaf Al-Arba’ah
  16. Dan Lain-Lain[9]

3. PEMIKIRAN SAYYID QUTB
Dalam kitabnya yang berjudul Sayyid Qutb: Khulâshatuhu wa Manhâju Harakatihi, Muhammad Taufiq Barakat membagi fase pemikiran Sayyid Qutb menjadi tiga tahap[10] :
  1. Tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi islam
  2. Tahap mempunyai orientasi islam secara umum
  3. Tahap pemikiran berorientasi islam militan.

Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb sudah mulai merasakan adanya keenggan dan rasa muak terhadap westernisme, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir. Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan beliau aktif dalam memperjuangnkan islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir islam lainnya yang silau akan kegemilingan budaya-budaya Barat..
Dalam pandangannya, Islam adalah way of life yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas problem sosial-kemasyarakatan[11].
Al-Qur`an dalam tataran umat islam dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan jika Al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.
Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Qutb mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam Al-Quran, jika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini.
Meski tidak dipungkiri bahwa Al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad abad tahun lamanya pada zaman Rasulullah dan mengganggambarkan tentang kejadian masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash Al-Qur`an, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam Al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman.
Maka, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya Al-Qur`an adalah dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang.
Berangkat dari itu, Sayyid Qutb mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan Al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat yang kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar yang tejadi dalam realita tersebut.

4. TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN
a. MOTIVASI PENULISAN TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN
Pada kata pengantarnya, Sayyid Qutb mengemukakan kesan-kesanya hidup di bawah naungan al Quran. adalah nikmat. Nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh yang telah merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar serta berbicara dengan Allah melalui al Quran. Hidup di bawan naungan al Quran, Sayyid Qutub merasakan keselarasan yang indah antara gerak manusia sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya. Ia melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat pemyimpangannya dari undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan yang keras antara ajaran-ajaran rusak yang dididektekan padanya dengan fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah.
Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik[12].
Oleh karenanya, kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan.
Dalam tafsir fi Zilalil Qur’an ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Hasan Al Banna, Abu A’la al Maududi.
Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Quran yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan.
Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fî Zhilal Al-Qur`an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah.
Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`an sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh.
Karya beliau tersebut diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.
b. STRUKTUR TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN DAN CIRINYA
Tafsir Sayyid Qutb di susun dengan Tahlili. Ia memulai penafsiran suatu surat dengan memberikan gambaran ringkas kandungan surat yang akan dikaji secara rinci. Dalam surat Al Fatihah misalnya, Sayyid Qutb mengemukakan bahwa dalam surat ini tersimpul prinsip-prinsip akidah Islam, konsep-konsepsi Islam dan pengarah-pengarahanya yang mengidentifikasi hikmah. Dipilihnya surat ini karena sebagai bacaan yang di ulang-ulang dalam setiap rakaat shalat serta tidak sahnya shalat tanpa membacanya. Setelah itu beliau memperinci penafsiran ayat demi ayat. Begitupula ketika beliau menafsirkan surat-surat berikutnya.
Dalam menafsirkan surat yang panjang, Sayyid Qutb mengelompokkan sejumlah ayat sebagai kesatuan, sesuai dengan pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Dalam menafsirkan surat Al Baqarah misalnya, beliau menetapkan ayat pertama sampai ayat 29 sebagai bagian pertama pembahasan. Selanjutnya beliau menafsirkan ayat 30 - 39, ayat 40 – 74, ayat 75 – 103, dst. Dibandingkan dengan pengelompokan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al Manar, pengelompokan Sayid Qutb relatif lebih besar.
Dalam menafsirkan ayat, ia menggunakan ayat-ayat al Quran sebagai penjelas.
Sayyid Qutb menggunakan hadist-hadist Nabi SAW sebagai penjelas. Sebagian dengan menyebut perawi pertama dan terakhir, tanpa menyertakan rangkaian sanadnya secara lengkap. Terkadang hanya dengan menyebutkan rawi terakhirnya. Misalnya, hadist tentang keharusan membaca surat Al Fatihah yang di riwayatkan Bukhari dan Muslim.
Kemudian melengkapi Tafsirnya dengan perkataan sahabat, misalnya perkataan Umar tentang permohonan suaka penduduk Iraq, terkait surat Al Baqarah:100 tentang menepati janji.
Juga mengutip pendapat-pendapat ulama terdahulu. Seperti mengutip Tafsir Ibn Katsir mengenai peristiwa Bai’ah Aqabah. Kemudian dari Al Bidayah Wan Nihayah tentang lamanya Nabi tinggal di Makkah selama 10 tahun.
Sayyid Qutb menekankan analisis munasabah, keseimbangan, dan keserasian dalam surat. Misalnya, uraian tentang Nabi Musa diikuti dengan uraian tentang bani Israil, persesuaian antar pembukaan surat dengan penutupnya sseperti tampak dalam surat Al-Baqarah, yang mengutarakan sifat-sifat orang beriman dan karakteristik orang beriman. Yang tak kalah penting, ia menekankan analisis rasional.

c. CORAK PENAFSIRAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN
Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilil al-Qur`an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al-Qur`an.
Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur`an. Termasuk diantaranya adalah melakukan Pembaruan dalam bidang penafsiran dan disatu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang diarasa kurang begitu penting.
Salah satu yang kekhususan dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastera untuk melakukan pendekatan dalam menafsikan al-Qur`an. Sisi sastera beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama.
Akan tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur`an, karakteristik ungkapan al-Qur`an serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid Qutb untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang islam pada umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al-Qur`an itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur`an.
Menurutnya, al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bag segala penyakit. Pandangan seperti ini beliau sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah. “Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus...”
Sejak pada barisan pertama dalam kitab kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakterisktik seni yang terdapat dalam al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur`an dalam mengajak masayarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnab, namun dibalik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasian irama.

d. METODOLOGI PENAFSIRAN FI ZILALIL QUR’AN
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir kontemporer yang paling actual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an.
Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hokum, budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, mendapatkan perhatian yang memada di dalam tafsir ini.
Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Qutb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.

Karena itu tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada tafsir fi Zilalil Qur’an.

Sumber-sumber fi Zilalil Qur’an berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Qutb menyebutkannya  untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.
Mengenai klasifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur`an Universitas al-Azhar membagi corak dalam menafsirkan al-Quir`an menjadi tiga bentuk, yaitu tahlily, maudhu’i dan ijmâli muqarin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zilâlil Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam jenis tafsir tahlili. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf[13].
Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, qashash yang terdapat dalam Al-Qur`an merupakan penuturan derama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam Al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang[14].
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastera, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.

5. WAFATNYA SAYYID QUTB
Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abdul Nasher. Sebelum dilakukan eksekusi Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb[15].


[1] Sayyid Quthb, Tafsir fi zilalil-Qur’an di bawah naungan al-Qur’an terj. As’ad yasin, dkk. halmn. 406
[2] Ibid, hlmn.406
[3] Ibid., hlmn. 406
[4] Ibid, halmn. 406
[5] Muhammad Razi, 50 Ilmuan Muslim Populer, halmn.36
[6] Ibid., halmn.149
[7] Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild 1., halmn.407
[8] Ibid., halmn.149
[9] Al-mutasyar Abdullah al-aqil, “mereka yang telah pergi”, Terjemah,Khozin abu faqih, Jakarta: Al-I’tisham, 2003, Halmn. 606
[10]  Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild 1., halmn. 406-407
[11] Ana Belen Soage, Hasan al-Banna and Sayyid Qutb : Continuity or Rupture?, The Muslim World, 2009., halmn. 295

[12] Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, terj.As’ad Yasin dkk., jild 1., halmn.407
[13] http://www.al-ikhwan.net, diakses tanggal 25 September, pukul 21:00 Wib.
[14] Ibid.,
[15]  Muhammad Razi, 50 Ilmuan Muslim Populer, halmn.36