23.2.14

BIOGRAFI WAHBAH AZ-ZUHAYLI & TAFSIRNYA


Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H.  Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya untuk menuntut ilmu.
Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain  Syam dalam waktu  yang  bersamaan[1]. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut – turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyya[2].

2. MADZHAB DAN PEMIKIRAN WAHBAH AZ-ZUHAYLI
            Wahbah dibesarkan di kalangan ulama-ulama madzhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam madzhab fiqh, walaupun bermadzhab Hanafi[3], namun dia tidak fanatik dan menghargai pendapat-pendapat madzhab lain, hal ini dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan Fiqh.
            Terlihat dalam membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai dalam fiqh juga terkadang menggunakan alasan medis, dan juga dengan memberikan informasi yang seimbang dari masing-masing madzhab, kenetralannya juga terlihat dalam penggunaan referensi, seperti mengutip dari Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshas  untuk pendapat mazhab Hanafi, dan Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi untuk pendapat mazhab Maliki.
Sedangkan dalam masalah teologis, beliau cenderung mengikuti faham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah “Melihat Tuhan” di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat al-An’am ayat 103[4].

3.  KARYA-KARYA WAHBAH AZ-ZUHAYLI
Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah ia merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini, mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti. diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut :
1.   Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami – Dirasat Muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963.
2.  Al-Wasit fi Usul al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.
3.  Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq, 1967.
4.  Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damsiq, 1969.
5.  Nazariat al-Daman, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1970.
6. Al-Usul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-Abassiyah, Damsyiq, 1972.
7.  Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981.
8.  Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984.
9. Usul al-Fiqh al-Islami  (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq, 1986.
10.  Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami, (Muassasah al-Risalah, Beirut, 1987.
11.  Fiqh al-Mawaris fi al-Shari’at al-Islamiah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
12.  Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
13.  Al-Islam Din al-Jihad La al-Udwan, Persatuan Dakwah Islam Antarabangsa, Tripoli, Libya, 1990.
14.  al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1991.
15.   al-Qisah al-Qur’aniyyah Hidayah wa Bayan,Dar Khair, Damsyiq, 1992.
16.  Al-Qur’an al-Karim al-bunyatuh al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-Hadariah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1993.
17.  al-Rukhsah al-Syari’at – Ahkamuha wa Dawabituha, Dar al-Khair, Damsyiq, 1994.
18. Khasa’is al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1995.
19.    Al-Ulum al-Syari’at Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlal, Dar al-Maktab, Damsyiq, 1996.
20. Al-Asas wa al-Masadir al-Ijtihad al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa al-Syiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
21.  Al-Islam wa Tahadiyyat al-‘Asr, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
22. Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
23. al-Taqlid fi al-Madhahib al-Islamiah inda al-Sunnah wa al-Syiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996
24.  Al-Ijtihad al-Fiqhi al-Hadith, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
25. Al-Uruf wa al-Adat, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
26. Bay al-Asham, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
27. Al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dar al-Maktabi Damsyiq, 1997.
28. Idarat al-Waqaf al-Khairi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998.
29.  al-Mujadid Jamaluddin al-Afghani, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998.
30. Taghyir al-Ijtihad, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
31. Tatbiq al-Syari’at al-Islamiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
32. Al-Zira’i fi al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1999.
33. Tajdid al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000.
34.  Al-Thaqafah wa al-Fikr, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
35. Manhaj al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
36. Al-Qayyim al-Insaniah fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
37. Haq al-Hurriah fi al-‘Alam, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000.
38.  Al-Insan fi al-Qur’an, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
39. Al-Islam wa Usul al-Hadarah al-Insaniah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
40. Usul al-Fiqh al-Hanafi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001[5].


4. TAFSIR AL-MUNIR
a. PENULISAN DAN PENERBITAN
Penulisan tafsir Munir dilatarbelakangi oleh pengabdian Wahbah az-Zuhaili pada ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman, dengan tujuan menghubungkan  orang muslim dengan al-Qur’an berdasarkan hubungan logis dan erat.
 Tafsir ini ditulis setelah beliau selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan disajikan dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna.
Tafsir al_Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al_Fikri Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq Suriya dalam 16 jilid pada tahun 1991 M/1411 H.

b.   MOTIVASI DAN TUJUAN PENULISAN
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu’ran secara ilmiah[6].
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih pembaharuan[7]. Seperti penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi[8].
d.   METODOLOGI PENAFSIRAN TAFSIR MUNIR
Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an  Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan  menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya[9].
Sehingga dengan demikian maka metode penafsiran yang dipakai adalah  metode tahlili[10] dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai  lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa[11]. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
e.    CORAK PENAFSIRAN TAFSIR MUNIR
Ada tujuh corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu’i di antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi, altafsir al-shufi, al-tafsir fiqh, al-tafsir falsafi, tafsir al-‘ilm, dan tafsir adabi ‘ijtima’i[12],
Corak tafsir al-Munir, bercorak ‘addabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang  Wahbah az-Zuhaili mempunyai basic keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat[13].
Sedikit sekali beliau menggunakan tafsir bi al-‘ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer.
f.   KARAKTERISTIK TAFSIR AL-MUNIR
Karakteristik Wahbah dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
a.       Pengelompokan tema
b.      Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-ayat yang dikelompokan.
c.       Mencantumkan materi-materi yang dimuat dalam ushul al-Fiqh
d.      Mengakomodir perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
e.       Mencantumkan catatan kaki (footnote) dalam pengutipan karya orang lain.

g.     SISTEMATIKA PENULISAN TAFSIR WAHBAH ZUHAYLI
Secara sistematika sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya.
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia[14]. Dan ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk menguraikannya  sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat[15].
Dengan melihat fakta data-data di atas, maka Wahbah Zuhaili memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd ar-Rahman bagi  seorang mufassir, diantara kriterianya adalah sebagai berikut:
1. Muthabaqat tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang diperlukan , tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan makam serta menjaga dari penimpangan makna dan yang dikehendaki al-Qur’an;
2. Menjaga makna haqiqi dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi tapi di bawa kedalam makna majazi atau sebaliknya;
3. Muraat ta’lif  antara makna dan tujuan yang sesuai dengan pembicaraan dan kedekatan antar kata;
4. Menjaga tanasub antar ayat;
5. Memperhatikan asbab an-nuzul;
6. Memulai dengan bahasa, sharf  dan isytiqaq (derivasi) yang berhubungan dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib
7. Menghindari idd’a pengulangan al-Qur’an[16].
Tafsir Al-Munir merupakan Tafsir kontemporer, yang disusun oleh seorang ahli Fiqh, dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan difahami serta analisis-analisis yang relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan menjawab kegelisahan pengarang tentang keadaan jaman di mana kecenderungan pada gaya hidup hedonisme  masyarakat, semakin menjauhkannya dari al-Qur’an. Tafsir al-Munir hadir di tengah-tengah kegelisahan dan kehausan umat dalam memahami al-Qur’an dan kandungan-kandungan yang ada  di dalamnya.


[1] Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, (Teheran: Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, thlm.1993), cet. I., halm.684-685, lihat juga http://www.abim.org.my/minda_madani

[3] Sayyid Muhammad ‘Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum,  halmn.684.
[4] Menurutnya abshar tidak bisa melihat hakekat Allah yang dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah 255,dan pendapat  Ibnu Abbas bahwa abshar tidak bisa melihatNya di dunia Tetapi orang yang beriman akan melihatNya di Akhirat dikaitkan dengan QS. Al-Qiyamat 22-23 dan hadist shahihain انكم سترون ربكم يوم القيامة كما ترون القمر  ليلة البدر, lihat Wahbah az-Zuhaili, Tafsir munir, (Dimasyq : Dar al-Fikri, 1998), cet. I,  halmn. 315-316.

[5] Abd Qadir Shalih, At-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis,(Beirut : Dar al-Fikr, 2003), cet. I, hlmn.325.

[6] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj,  j.I, halm.6.
[7] Seperti penafsiran yang dilakukan oleh mufassir yang yang basic keilmuannya sains dan teknologi semisal Musthafa Mahmud yang merupakan seorang teknokrat
[8] Sayyid Muhammad ‘Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum  wa Manahijuhum,  halmn.685
[9] Ibid., halmn.685.
[10] Penafsiran ayat-ayat ak-Qur’an  melalui pendiskripsian makna yang terkandung di dalamnya dengan mengikuti urutan surat, metode ini merupakan yang paling tua usianya. Lihat M. Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakkur,2007), halmn.104. 
[11] Wahbah menafsirkan ayat-ayat ini dengan jelas dan bahasa yang simpel dan mudah dipahami Lihat Wahbah, Tafsir al-Munir, halmn.81-86.
[12] Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (tt, 1409H/1988M), cet.III, halm.327.
[13] lihat Abd Qadir Shalih, At-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis, hlmn.325.

[14] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, Jilid I, halmn.9.
[15] Ibid., halmn.5-6.
[16] Khalid Abd Rahman al-Ak, usul at-tafsir wa qawa’iduh, (Dimasyq: dar an-nafais, 1986), Cet II,  halmn.81-82.