Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir
Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H.
Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang merupakan seorang yang terkenal dengan
keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Qur’an, beliau bekerja sebagai
petani dan senantiasa mendorong putranya untuk menuntut ilmu.
Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya,
Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di
Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang
dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar
dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu
yang bersamaan[1]. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah
antara lain :
1. Ijazah
B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah
Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun
1957
3. Ijazah
B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga
ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo
yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i
fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas
dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang
diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi
al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen
di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut – turut menjadi
Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di
fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim
dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyya[2].
2.
MADZHAB DAN PEMIKIRAN WAHBAH AZ-ZUHAYLI
Wahbah dibesarkan
di kalangan ulama-ulama madzhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam
madzhab fiqh, walaupun bermadzhab Hanafi[3], namun dia tidak fanatik dan menghargai pendapat-pendapat madzhab
lain, hal ini dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat
yang berhubungan dengan Fiqh.
Terlihat dalam
membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai dalam fiqh
juga terkadang menggunakan alasan medis, dan juga dengan memberikan informasi
yang seimbang dari masing-masing madzhab, kenetralannya juga terlihat dalam
penggunaan referensi, seperti mengutip dari Ahkam al-Qur’an karya
al-Jashshas untuk pendapat mazhab Hanafi, dan Ahkam al-Qur’an
karya al-Qurtubi untuk pendapat mazhab Maliki.
Sedangkan dalam masalah teologis,
beliau cenderung mengikuti faham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak
pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya
tentang masalah “Melihat Tuhan” di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat
al-An’am ayat 103[4].
3. KARYA-KARYA WAHBAH AZ-ZUHAYLI
Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja
dan artikel dalam berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan
jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu
usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama kini seolah-olah ia merupakan as-Suyuti
kedua (as-Sayuti al-Thani) pada zaman ini, mengambil sampel seorang Imam
Shafi’iyyah yaitu Imam al-Sayuti. diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut
:
1. Atsar al-Harb
fi al-Fiqh al-Islami – Dirasat Muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963.
2. Al-Wasit fi Usul al-Fiqh,
Universiti Damsyiq, 1966.
3. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub
al-Jadid, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq, 1967.
4. Nazariat
al-Darurat al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damsiq, 1969.
5. Nazariat
al-Daman, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1970.
6. Al-Usul
al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-Abassiyah, Damsyiq, 1972.
7. Al-Alaqat
al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981.
8. Al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984.
9. Usul
al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Dar al-Fikr al-Fikr, Damsyiq, 1986.
10. Juhud
Taqnin al-Fiqh al-Islami, (Muassasah al-Risalah, Beirut, 1987.
11. Fiqh
al-Mawaris fi al-Shari’at al-Islamiah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
12. Al-Wasaya
wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
13. Al-Islam
Din al-Jihad La al-Udwan, Persatuan Dakwah Islam Antarabangsa, Tripoli,
Libya, 1990.
14. al-Tafsir
al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar al-Fikr,
Damsyiq, 1991.
15. al-Qisah
al-Qur’aniyyah Hidayah wa Bayan,Dar Khair, Damsyiq, 1992.
16. Al-Qur’an
al-Karim al-bunyatuh al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-Hadariah, Dar
al-Fikr, Damsyiq, 1993.
17. al-Rukhsah
al-Syari’at – Ahkamuha wa Dawabituha, Dar al-Khair, Damsyiq, 1994.
18. Khasa’is
al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1995.
19. Al-Ulum
al-Syari’at Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlal, Dar al-Maktab, Damsyiq, 1996.
20. Al-Asas
wa al-Masadir al-Ijtihad al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa al-Syiah, Dar
al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
21. Al-Islam
wa Tahadiyyat al-‘Asr, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
22. Muwajahat
al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
23. al-Taqlid
fi al-Madhahib al-Islamiah inda al-Sunnah wa al-Syiah, Dar al-Maktabi,
Damsyiq, 1996
24. Al-Ijtihad
al-Fiqhi al-Hadith, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
25. Al-Uruf
wa al-Adat, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
26. Bay
al-Asham, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
27. Al-Sunnah
al-Nabawiyyah, Dar al-Maktabi Damsyiq, 1997.
28. Idarat
al-Waqaf al-Khairi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998.
29. al-Mujadid
Jamaluddin al-Afghani, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998.
30. Taghyir
al-Ijtihad, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
31. Tatbiq
al-Syari’at al-Islamiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
32. Al-Zira’i
fi al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami, Dar al-Maktabi, Damsyiq,
1999.
33. Tajdid
al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000.
34. Al-Thaqafah
wa al-Fikr, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
35. Manhaj
al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
36. Al-Qayyim
al-Insaniah fi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
37. Haq
al-Hurriah fi al-‘Alam, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000.
38. Al-Insan fi al-Qur’an, Dar al-Maktabi,
Damsyiq, 2001.
39. Al-Islam
wa Usul al-Hadarah al-Insaniah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
40. Usul
al-Fiqh al-Hanafi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001[5].
4.
TAFSIR AL-MUNIR
a.
PENULISAN DAN PENERBITAN
Penulisan tafsir Munir dilatarbelakangi oleh
pengabdian Wahbah az-Zuhaili pada ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman,
dengan tujuan menghubungkan orang muslim dengan al-Qur’an berdasarkan
hubungan logis dan erat.
Tafsir ini ditulis setelah beliau selama
rentang waktu 16 tahun setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul
Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8
Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah),
Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan
ilmu al-Qur’an. Dan disajikan dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna.
Tafsir al_Munir diterbitkan pertama
kali oleh Dar al_Fikri Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq
Suriya dalam 16 jilid pada tahun 1991 M/1411 H.
b.
MOTIVASI DAN TUJUAN PENULISAN
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa
tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar
berpegang teguh kepada al-Qu’ran secara ilmiah[6].
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan
bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir
klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili
banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi
terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak
melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih
pembaharuan[7].
Seperti penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic
keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas
dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu
pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi[8].
d. METODOLOGI PENAFSIRAN TAFSIR MUNIR
Dengan mengamati beberapa
metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili
pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan
kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis
besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan
menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan
menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya[9].
Sehingga dengan demikian maka metode
penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili[10]
dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah
sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang
sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah
ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan
balasan bagi orang-orang yang bertaqwa[11].
Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap
kelompok ayat yang saling berhubungan.
e.
CORAK PENAFSIRAN TAFSIR MUNIR
Ada tujuh corak penafsiran seperti pendapat
yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi
al-tafsir al-maudhu’i di antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma’tsur,
al-tafsir bi al-ra’yi, altafsir al-shufi, al-tafsir fiqh, al-tafsir falsafi,
tafsir al-‘ilm, dan tafsir adabi ‘ijtima’i[12],
Corak tafsir al-Munir, bercorak ‘addabi
‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang Wahbah az-Zuhaili mempunyai
basic keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan
dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga
disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di
tengah-tengah masyarakat[13].
Sedikit sekali beliau menggunakan tafsir bi
al-‘ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya
bahwa dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer.
f. KARAKTERISTIK TAFSIR AL-MUNIR
Karakteristik Wahbah dalam
penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
a.
Pengelompokan tema
b.
Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat
al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw
al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-ayat yang dikelompokan.
c.
Mencantumkan materi-materi yang dimuat dalam ushul
al-Fiqh
d.
Mengakomodir perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab
pada tafsir ayat-ayat ahkam
e.
Mencantumkan catatan kaki (footnote) dalam
pengutipan karya orang lain.
g.
SISTEMATIKA PENULISAN TAFSIR WAHBAH ZUHAYLI
Secara sistematika sebelum memasuki bahasan
ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan
tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait
dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup
tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa
istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah
dan gramatika bahasanya.
Kedua,
tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat,
sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya
dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya.
Ketiga,
fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan
yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan
manusia[14].
Dan ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk
menguraikannya sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya
adalah model tafsir al-Qur’an yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan
hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab an-nuzul dan takhrij al-hadis,
menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik,
serta bersikap moderat[15].
Dengan melihat fakta data-data di atas, maka
Wahbah Zuhaili memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd
ar-Rahman bagi seorang mufassir, diantara kriterianya adalah sebagai
berikut:
1. Muthabaqat
tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang diperlukan ,
tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan makam serta menjaga dari
penimpangan makna dan yang dikehendaki al-Qur’an;
2. Menjaga
makna haqiqi dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi
tapi di bawa kedalam makna majazi atau sebaliknya;
3. Muraat ta’lif antara
makna dan tujuan yang sesuai dengan pembicaraan dan kedekatan antar kata;
4. Menjaga tanasub antar ayat;
5. Memperhatikan asbab an-nuzul;
6. Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq (derivasi)
yang berhubungan dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib
7. Menghindari idd’a pengulangan al-Qur’an[16].
Tafsir Al-Munir merupakan Tafsir kontemporer,
yang disusun oleh seorang ahli Fiqh, dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan
difahami serta analisis-analisis yang relevan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan menjawab kegelisahan
pengarang tentang keadaan jaman di mana kecenderungan pada gaya hidup
hedonisme masyarakat, semakin menjauhkannya dari al-Qur’an. Tafsir
al-Munir hadir di tengah-tengah kegelisahan dan kehausan umat dalam memahami
al-Qur’an dan kandungan-kandungan yang ada di dalamnya.
[1] Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun
Hayatuhum wa Manahijuhum, (Teheran: Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq
al-Islam, thlm.1993), cet. I., halm.684-685, lihat juga http://www.abim.org.my/minda_madani
[3] Sayyid
Muhammad ‘Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, halmn.684.
[4]
Menurutnya abshar tidak bisa melihat hakekat Allah yang dikaitkan dengan
QS. Al-Baqarah 255,dan pendapat Ibnu Abbas bahwa abshar tidak bisa
melihatNya di dunia Tetapi orang yang beriman akan melihatNya di Akhirat
dikaitkan dengan QS. Al-Qiyamat 22-23 dan hadist shahihain انكم سترون ربكم يوم القيامة كما ترون
القمر ليلة البدر, lihat Wahbah az-Zuhaili, Tafsir munir, (Dimasyq : Dar
al-Fikri, 1998), cet. I, halmn. 315-316.
[5] Abd
Qadir Shalih, At-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis,(Beirut : Dar
al-Fikr, 2003), cet. I, hlmn.325.
[7] Seperti
penafsiran yang dilakukan oleh mufassir yang yang basic keilmuannya sains dan
teknologi semisal Musthafa Mahmud yang merupakan seorang teknokrat
[10] Penafsiran ayat-ayat ak-Qur’an melalui pendiskripsian makna yang
terkandung di dalamnya dengan mengikuti urutan surat, metode ini merupakan yang
paling tua usianya. Lihat M. Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung:
Tafakkur,2007), halmn.104.
[11] Wahbah menafsirkan ayat-ayat ini dengan jelas dan bahasa yang simpel dan
mudah dipahami Lihat Wahbah, Tafsir al-Munir, halmn.81-86.
[12] Lihat Abd al-Hayy
al-Farmawi, muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (tt, 1409H/1988M),
cet.III, halm.327.
[14] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa
al-Manhaj, Jilid I, halmn.9.
[15] Ibid., halmn.5-6.
[16] Khalid Abd Rahman al-Ak, usul
at-tafsir wa qawa’iduh, (Dimasyq: dar an-nafais, 1986), Cet II,
halmn.81-82.