23.2.14

Manhaj Allah dalam Menyambut Kemenangan Da’wah


Bismillahirrahmanirrahim
Ikhwati  fillah hafidhakumullah

Berda’wah adalah sebuah panggilan ilahi, hanya orang-orang pilihan Allah lah yang tergerak hati, pikiran dan kerjanya untuk mewakafkan hidupnya mengemban amanah tugas mulia ini.
Di saat yang lain dengan nikmatnya menikmati kehidupan duniawinya, justru mereka berfikir memutar akal ; bagaimana strategi yang paling tepat untuk berdakwah kepada masyarakat di sekitarnya. 
Maka seringkali mereka harus merelakan waktu istirahatnya setelah capeknya memenuhi kewajiban menafkahi keluarga seharian, untuk mengajak masyarakat sekitarnya berbuat kebaikan, menebarkan kedamaian serta menyiapkan kondisi dalam bermasyarakat maupun bernegara yang adil dan sejahtera.
Ini bukanlah tugas yang ringan, betapa banyak para da’i yang berguguran, merasa sendirian yang pada ujungnya masuk dalam lembah futur,  karena kurang sabarnya mereka dalam menghadapi realita maupun problematika dakwah ini.  futur berarti tawaqquf ba’dal harakah –berhenti setelah bergerak-, atau dalam istilah lain mutasaqituna fid da’wah –yang berguguran di jalan dakwah- mereka yang dahulu begitu semangatnya berdakwah, namun karena suatu hal mengundurkan diri, mundur teratur menjauhi dakwah ini. 
Yang seringkali membuat hati kita bergetar ataupun terpengaruh ingin mengikuti jejak mereka dikarenakan ; terkadang kita menjumpai mereka dahulu teman selingkaran kita, orang yang dahulu mengenalkan kita akan kepada dakwah ini, ustadz kita atau bahkan murabbi kita yang sedang tidak bersama kita dalam jamaah ini.  Kenapa saya mengatakan sedang tidak tidak bersama kita dalam jamaah ini ? dengan selalu berharap kepada Allah agar membukakan pintu hati mereka untuk kembali bersama kita meneruskan memperjuangkan risalah yang mulia ini.
Inilah yang menjadi landasan utama mengapa saya mengatakan para pengemban risalah ini adalah orang-orang khusus pilihan Allah..!!! semoga kita termasuk diantara golongan ini. Amin...
Allah berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Qs. Fushilat : 33)

Ikhwati  fillah hafidhakumullah
Dengan apa yang kita hadapi sekarang ini, inspirasi akan narasi Allah dalam menyambut kemenangan da’wah kita adalah peristiwa haditsul ifki yang terjadi sebelum perjanjian hudaibiyah.  perjanjian hudaibiyah merupakan pintu awal diijinkannya Rasulullah dan sahabatnya memasuki tanah suci makkah dengan aman dan damai. Padahal dulu harus terusir darinya dengan penuh ancaman dan intimidasi dari kuffar Quraisy. Inilah yang saya maksudkan dengan manhaj Allah dalam menyambut kemenangan dakwah kita.

Iya..!!!, peristiwa haditsul ifki yaitu peristiwa terfitnahnya orang terdekat Rasul, ummul mu’minin yang sangat beliau cintai, wanita muda yang cerdas cendekia. Yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Engkau tahu gunjingan orang seputar istri Rasulullah?” tanya Abu Ayyub al Anshari kepada istrinya. “Ya, dan semua itu dusta besar,” sahut istrinya tegas. “Engkau sendiri, mungkinkah melakukan hal seperti itu?” desak Abu Ayyub. “Tak mungkin aku melakukannya, demi Allah.” “Dan Aisyah, demi Allah jauh lebih baik dari engkau,” sahut Abu Ayyub.
Dialog semacam itulah yang membuat suasana tegang di Madinah. Hari-hari dimana Rasulullah tengah menghadapi beban berat. Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri tercinta beliau, diisukan berbuat serong dengan Shofwan bin Mu’athol.
Peristiwa ini bermula dari peristiwa perang Bani Musthaliq. Menjelang keberangkatan ke Bani Musthaliq, bulan Sya’ban tahun 5 hijriyah, seperti biasa Rasulullah Saw., mengundi siapa istrinya yang diajak serta berperang. Hari itu, Aisyah dapat undian untuk menemani Rasulullah. Biasanya bila bepergian, Aisyah yang berbadan kurus itu naik ke atas haudah (semacam tenda kecil) yang diletakkan di punggung unta.
Sepulang dari Bani Musthaliq, di sebuah tempat yang hampir dekat dengan Madinah, Rasulullah dan kaum muslimin menginap beberapa malam karena kecapaian yang teramat sangat setelah menempuh perjalanan jauh nan berat yang sangat melelahkan.
Hingga suatu hari Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk meneruskan perjalanan. Saat itu, ketika buang hajat, Aisyah kehilangan kalung permata Yaman. Ia terus mencari dan akhirnya ketemu. Namun, begitu kembali ke tempat singgah pasukan Islam, ia sudah tertinggal rombongan. Mereka yang mengangkat haudah (semacam tenda kecil) ke punggung unta tak tahu bahwa di dalamnya tak ada Aisyah. mereka mengira Aisyah sudah ada di dalam, hal ini dikarenakan memang Aisyah berperawakan kecil dan ringan.
Aisyah lantas menyelimuti dirinya dengan jilbabnya, kemudian berbaring. Ia yakin mereka akan kembali bila tahu dirinya tertinggal, jadi lebih baik dia tetap di tempat itu hingga datang utusan yang menjemputnya daripada mengarungi padang pasir tanpa pedoman dan tersesat.
Tak berapa lama, lewatlah Shofwan bin Mu’athol, menunggang unta. Ia tertinggal kafilah kaum muslimin karena suatu keperluan . Shofwan terkaget-kaget. Ia tahu bahwa itu Aisyah, sebab sebelum turun ayat yang mewajibkan pemakaian jilbab, Shofwan telah mengenali Aisyah.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, istri Rasulullah di sini? Apa yang menyebabkan engkau tertinggal?” ucap Shofwan spontan.
Tak sepatah kata pun diucapkan Aisyah. Shofwan segera menundukkan untanya dan dia mundur sambil berkata : naiklah.  Aisyah pun naik dan Shofwan menuntun unta itu. Setelah Aisyah naik, berangkatlah onta yang dituntun Shofwan dengan bergegas, berjalan cepat dengan harapan mampu menyusul rombongan yang lain. Tetapi tak terkejar pula, karena ternyata rombongan ingin cepat-cepat sampai madinah dan segera beristirahat setelah mengalami perjalanan yang cukup melelahkan.
Shofwan memasuki kota madinah di siang hari disaksikan oleh banyak orang, sementara Aisyah di atas ontanya, dan dibelakangnya ada pasukan tentara yang datang hampir bersamaan. Aisyah pun masuk rumah Rasulullah. Dan (ketika itu) tak terlintas orang-orang peristiwa itu akan menjadi buah bibir ataupun menimbulkan syak karena ia terlambat dalam rombongan, juga dalam hati Rasulullah tidak pernah terlintas prasangka buruk terhadap Shofwan, seorang muslim yang teguh imannya.
Namun, kesempatan itu tidak mau di sia-siakan oleh gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Segera saja ia melempar isu, bahwa istri seorang Nabi telah berbuat serong. Berita dusta itu menjalar bak api melahap padang ilalang kering. Beberapa orang termakan isu.  Hamnah bin Jahsy (saudara kandung Zainab binti Jahzy, istri Rasulullah) yang tahu bahwa Aisyah mendapat tempat melebihi istri yang lainnya, Misthah (pembantu Abu Bakar), dan Hassan bin Tsabit turut memperkeruh suasana. Bahkan, ali bin Abu Thalib pun ikut terpengaruh.
Suasana makin panas. Aisyah sendiri jatuh sakit sepulang dari perjalanan itu (sakit hingga lebih sari dua puluh hari di rumah Ibunya). Tragisnya, Aisyah tak tahu menahu tentang apa yang terjadi di luar. Ia tak mengerti bahwa ada peristiwa besar yang menyangkut dirinya, yang berputar dari mulut satu ke mulut yang lain. Yang dirasakan Aisyah, hanya Rasulullah sedikit berubah dari biasanya. Kasih lembutnya terasa kering. Hanya itu.
Sampai suatu hari Rasulullah berbicara di hadapan kaum muslimin di masjid. Dari atas mimbar ia memuji Allah, lantas menyatakan sikapnya.
“Wahai sekalian manusia. Kenapa orang-orang itu menyakiti keluargaku? Mereka berbicara tentang sesuatu yang sama sekali tidak benar. Demi Allah, aku tidak melihat keluargaku kecuali baik-baik selalu.”
Seorang sahabat Anshar, Usaid bin Hudhair dari suku Aus, menyela, “Wahai Rasulullah, bila orang-orang itu dari Aus, kami siap bereskan mereka. Dan bila mereka dari Khazraj, maka perintahkan kami untuk menyelesaikan urusan engkau. Demi Allah, mereka itu orang-orang yang layak dipenggal batang lehernya.”
Mendengar itu, Sa’ad bin Ubadah, yang berdarah Khazraj naik pitam. Ia segera menimpali.  “Demi Allah, kamu tak akan bicara seperti itu kecuali karena engkau tahu gembong masalah ini (Abdullah bin Ubay) dari Khazraj. Kalau saja ia dari kaummu, pasti bicaramu tak seperti itu.”
“Pendusta kamu ini, demi Allah. Kamu hanyalah munafik yang membela munafik,” balas Usaid.
Suasana kian panas. Beberapa orang nampak berlompatan. Keributan mulai muncul. Hampir saja orang-orang Aus dan Khazraj saling baku hantam. Rasulullah segera turun dari mimbar.

Hampir satu bulan masalah ini berjalan tanpa bisa dituntaskan kebenarannya. Sebenarnya keadaan Rasulullah tidak lebih baik daripada Aisyah, Ia merasa tersiksa karena percakapan orang-orang mengenai dirinya. Akhirnya, beliau pun meminta nasehat dari orang-orang terdekatnya. Ia menemui Abu Bakar, Usamah bin Zaid dan Ali bin Abu Thalib pun dipanggilnya untuk dimintai pendapat. Usamah ternyata menolak keras tuduhan tersebut, itu bohong dan tidak punya dasar. namun, berbeda dengan ali, Dia berkata : “Rasulullah perempuan masih banyak” sarannya supaya menemui bujang pembantu Aisyah kalau-kalau ia dapat dipercaya. Dipanggillah pembantu bujang tersebut, Ali segera menghampirinya dan memukulnya yang cukup membuat bujang tersebut kesakitan. Seraya berkata : katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah..!!! “Demi Allah yang saya ketahui dia (Aisyah) adalah orang baik” jawab pembantu tersebut.
Rasulullah mencoba menggali kejujuran Aisyah. Ditemuilah istri tercintanya yang telah tinggal di rumah orang tuanya, Abu Bakar ash Shiddiq. Aisyah hanya menangis.
“Wahai Aisyah. Takutlah engkau kepada Allah. Bila engkau telah telah melangkah kepada keburukan, bertaubatlah. Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya.”
Air mata Aisyah makin deras, darahnya mendidih, Tak ada kata yang mampu diucapkan. Ia berharap bapak-ibunya memberi jawaban. Lama ditunggu, keduanya tak juga buka suara. Tidakkah engkau berdua menjawab Rasulullah,” sahut Aisyah lemah sambil memandang kedua orang tuanya. “Kami sendiri tak mengerti harus menjawab apa,” sahut Abu Bakar.
Setelah terdiam beberapa saat, Aisyah pun berkata :
Demi Allah saya tidak bertobat kepada Allah seperti yang Anda sebutkan itu, saya tahu kalau saya mengiyakan apa yang dikatakan orang, sedang Allah maha tahu bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tidak ada. Tetapi kalau pun saya bantah, kalian tidak akan percaya. Saya hanya bisa berkata seperti apa yang dikatakan ayahnya Yusuf :
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (Qs. Yusuf : 18)

Setelah beberapa saat turunlah wahyu Allah yang membersihkan nama Aisyah, Firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11)
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (Qs. An-Nur : 11)
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12)
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (Qs. An-Nur : 12).



Ikhwati  fillah hafidhakumullah

Maka, selesailah fitnah terhadap Aisyah yang membuat kekacauan di madinah dan sangat membebani Rasulullah itu. Setelah peristiwa haditsul ifki terselesaikan, Rasulullah dan penduduk madinah pun berjalan seperti sedia kala.
Kaum Muslimin, khususnya Muhajirin termasuk Rasulullah merindukan Ka’bah. Mereka merasa tersiksa karena tidak bisa menunaikan kewajiban Haji yang mana juga menjadi kewajiban nenek moyang mereka sejak dahulu kala. Di samping itu, Muhajirin kaum sendiri pun merasa tersiksa dan tertekan dalam pembuangan, kehilangan tanah air dan keluarga. Tetapi, mereka yakin bahwa pertolongan Allah kepada Rasulnya dan kepada mereka serta Allah akan mengangkat Agama Islam melebihi Agama-agama lainnya. Mereka pun sangat merindukan hari itu, begitu pula Rasulullah sangat merindukannya dan yakin sekali bahwa saat itu saatnya kini sudah dekat.
Pada suatu pagi, ketika Rasulullah sedang berkumpul dengan sahabatnya di masjid (Nabawi), tiba-tiba nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapatkan ilham mimpi hakiki, bahwa insyaallah mereka akan memasuki masjidil haram dengan aman dan tenteram, dengan kepala di cukur atau di gunting tanpa akan rasa takut. Serntak mereka menjawab : Alhamdulillah..!!!! secepat kilat berita tersebut menyebar ke seluruh penjuru madinah.
Tetapi bagaimanakah caranya masuk masjidilharam? Dengan perang? Apa masyarakat Quraisy secara paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan jalan?
Kemudian, Rasulullah mengumumkan kepada khalayak ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan dzulhijah yang suci (di tahun ke-6 H). Namun, niat itu haruslah tertunda karna dari pihak Quraisy menghalangi dengan segala kekuatan mereka kerahkan. Dengan perundingan yang cukup panjang akhirnya disepakati perjanjian hudaibiyah.
Isi perjanjian hudaibiyah tersebut adalah :
“inilah yang disetujui oleh Muhammadi bin Abdullah dan selanjutnya perjanjian antara kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun (menurut mayaoritas ahli shiroh tetapi menurut al-Waqidy 2 tahun). Bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyebrang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, maka harus dikembalikan kepada mereka. Dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyebrang kepada Quraisy tidak akan dikembalikan ; bahwa barangsiapa dari masyarakat arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan ; bahwa untuk  tahun ini Muhammad dan sahabatnya harus kembali meninggalkan makkah dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya ; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang bersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.”

Awalnya para sahabat keberatan akan perjanjian ini, namun keputusan telah diambil Rasulullah dan tiada jalan lain buat mereka kecuali harus kembali ke madinah dengan harapan akan kembali ke makkah tahun depan. Sebagian mereka membawa pikiran mereka dengan berat hati. Kalau bukan karena perintah Rasulullah mereka tidak akan dapat menahan hati mereka. Akhirnya mereka berangkat pulang ke madinah. Ketika dalam perjalanan pulang, turun lah wahyu :
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا (1) لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (2)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata (1) supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus” (Q.s. AL-Fath : 1-2)

Inilah yang saya maksudkan dengan manhaj Allah dalam menyambut kemenangan da’wah. Setelah ujian haditsul ifki yang sangat berat bagi Rasulullah ternyata di balik itu, Allah telah menyiapkan kemenangan yang nyata sebagaimana dalam surat al-fath ayat ke 1 & 2 diatas.
Perjanjian hudaibiyah adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Diantaranya adalah :
1.      Sejarah mencatat bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh.
2.      Ini adalah pertama kalinya kaum Quraisy mengakui muhammad bukan sebagai pemberontak mereka melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah,
3.      Mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam.
4.      Sebagai bentuk pengakuan bahwa kaum muslimin berhak berziarah ke ka’bah serta melakukan ibadah haji.
5.      Sebagai pengakuan Islam adalah agama yang sah diakui di semenanjung Arab.
6.      Gencatan senjata selama dua / sepuluh tahun membuat pihak muslimin merasa lebih aman dari serangan Quraisy

Bukti nyata akan lompatan besar kemenangan kaum muslimin adalah dua tahun pasca perjanjian hudaibiyah rasulullah memasuki makkah dengan 10.000 kaum muslimin yang kita kenal dengan “fathu makkah”. Padahal, 2 tahun sebelumnya hanya 1.400 orang.

Ikhwati  fillah hafidhakumullah

Dari kedua peristiwa diatas menginspirasi kita, sebuah narasi akan manhaj Allah dalam Menyambut kemenangan da’wah.
Pertama, isti’dad Nafsiy yakni menyiapkan diri kita untuk menyambut kemenangan dakwah ini. Yang meliputi membangun kekuatan keimanan dan soliditas fikroh. Dengan berbagai ujian, fitnah ataupun celaan baik secara langsung ataupun tidak kepada kita, qiyadah kita mupun jama’ah kita meneguhkan kepada kita bahwasannya kemenangan itu sangatlah dekat.
Dalam momentum ini marilah kita tata diri kita, menjadikan pribadi yang memiliki keteguhan yang kuat akan kekuatan iman. Karena dengan quwwatul imaniyah itulah akan memberikan kekuatan yang tidak pernah gentar menghadapi tantangan apapun. Sebagaimana Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqama maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” (Q.s. Al-Ahqaf : 13)

Ketika kita berjuang karena dilandasi karena quwwatul imaniyyah wal fikrah –kuatnya keimanan dan ideologi, tiada suatu kekuatan apapun yang mampu menghalanginya, memupus semangatnya kecuali atas izin Allah azza wa jalla,

Kedua, Optimalkan potensi diri. Setidaknya dalam dua hal yaitu menyelesaikan problematika internal dengan menguatkan soliditas kader dan membangun hubungan eksternal untuk meluaskan territorial dakwah. Menghadapi haditsul ifki Rasulullah tidaklah berdiam diri ketika menghadapi tekanan berat yang dihadapi, beliau berusaha menjaga stabilitas kaum muslimin di madinah disaat Abdullah bin Ubai terus melakukan makar menghancurkan Rasulullah dan kaum muslimin.
Maka soliditas kader harus menjadi prioritas utama untuk menjadi menyambut kemenangan da’wah kita. Kemudian hubungan dengan eksternal juga harus kita lakukan dengan semaksimal mungkin. indahnya ketika kita memaknai Tahun 2014 ini bukanhanya sekedar politik tetapi sebagai tahun melayani. Dengan banyak silaturahim, insya Allah dukungan terhadap da’wah ini akan semakin kuat. M 150 Bisa..!!! Allahu Akbar...


Ikhwati  fillah hafidhakumullah
            Manhaj ketiga, Senantiasa meluruskan Visi Dakwah. Perjuangan kita haruslah memandang jauh ke depan. Sebagaimana Rasulullah memutuskan menerima perjanjian hudaibiyah dengan pertimbangan yang sangat matang, melihat jauh kedepan untuk kemaslahatan Islam dan sahabatnya. Beliau tidak mau melewatkan momentum tersebut, yang belum tentu golongan Quraisy mau berunding di kesempatan lain. Inspirasi bagi kita adalah marilah momentum 2014 ini kita jadikan ajang perjuangan, momentum istimewa sebagai suatu sarana untuk menyambut kemenangan dakwah kita.
            Dan haruslah peran Allah selalu kita sertakan dalam setiap langkah kita. Niat kita bukan sekedar suksesi 9 April 2014 namun jauh lebih dari itu, kesempatan ini sekaligus kita jadikan peluang indah membangun aset da’wah saat ini dan masa depan. setelah kita bertekat bulat dengan dengan segala potensi yang kita miliki, hanya kepada Allah kita berharap... فَإِذا عزمت فتوكل على الله