Bismillahirrahmanirrahim
Ikhwati fillah
hafidhakumullah
Berda’wah adalah sebuah panggilan ilahi, hanya
orang-orang pilihan Allah lah yang tergerak hati, pikiran dan kerjanya untuk
mewakafkan hidupnya mengemban amanah tugas mulia ini.
Di saat yang lain dengan nikmatnya menikmati kehidupan
duniawinya, justru mereka berfikir memutar akal ; bagaimana strategi yang
paling tepat untuk berdakwah kepada masyarakat di sekitarnya.
Maka seringkali mereka harus merelakan waktu istirahatnya
setelah capeknya memenuhi kewajiban menafkahi keluarga seharian, untuk mengajak
masyarakat sekitarnya berbuat kebaikan, menebarkan kedamaian serta menyiapkan
kondisi dalam bermasyarakat maupun bernegara yang adil dan sejahtera.
Ini bukanlah tugas yang ringan, betapa banyak para da’i
yang berguguran, merasa sendirian yang pada ujungnya masuk dalam lembah futur,
karena kurang sabarnya mereka
dalam menghadapi realita maupun problematika dakwah ini. futur berarti tawaqquf
ba’dal harakah –berhenti setelah bergerak-, atau dalam istilah lain mutasaqituna
fid da’wah –yang berguguran di jalan dakwah- mereka yang dahulu
begitu semangatnya berdakwah, namun karena suatu hal mengundurkan diri, mundur
teratur menjauhi dakwah ini.
Yang seringkali membuat hati kita bergetar ataupun
terpengaruh ingin mengikuti jejak mereka dikarenakan ; terkadang kita
menjumpai mereka dahulu teman selingkaran kita, orang yang dahulu mengenalkan
kita akan kepada dakwah ini, ustadz kita atau bahkan murabbi kita yang sedang
tidak bersama kita dalam jamaah ini.
Kenapa saya mengatakan sedang tidak tidak bersama kita dalam jamaah
ini ? dengan selalu berharap kepada Allah agar membukakan pintu hati mereka
untuk kembali bersama kita meneruskan memperjuangkan risalah yang mulia ini.
Inilah yang menjadi landasan utama mengapa saya mengatakan
para pengemban risalah ini adalah orang-orang khusus pilihan Allah..!!! semoga
kita termasuk diantara golongan ini. Amin...
Allah berfirman :
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?" (Qs.
Fushilat : 33)
Ikhwati fillah hafidhakumullah
Dengan apa yang kita hadapi sekarang ini, inspirasi akan
narasi Allah dalam menyambut kemenangan da’wah kita adalah peristiwa haditsul
ifki yang terjadi sebelum perjanjian hudaibiyah. perjanjian hudaibiyah merupakan pintu awal
diijinkannya Rasulullah dan sahabatnya memasuki tanah suci makkah dengan aman
dan damai. Padahal dulu harus terusir darinya dengan penuh ancaman dan
intimidasi dari kuffar Quraisy. Inilah yang saya maksudkan dengan
manhaj Allah dalam menyambut kemenangan dakwah kita.
Iya..!!!, peristiwa haditsul ifki yaitu peristiwa
terfitnahnya orang terdekat Rasul, ummul mu’minin yang sangat beliau cintai,
wanita muda yang cerdas cendekia. Yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Engkau tahu gunjingan orang seputar istri
Rasulullah?” tanya Abu Ayyub al Anshari kepada istrinya. “Ya, dan
semua itu dusta besar,” sahut istrinya tegas. “Engkau sendiri, mungkinkah melakukan hal seperti itu?” desak Abu
Ayyub. “Tak mungkin aku melakukannya, demi Allah.” “Dan Aisyah, demi Allah jauh lebih baik dari engkau,” sahut Abu Ayyub.
Dialog semacam itulah yang membuat suasana tegang di Madinah. Hari-hari dimana Rasulullah tengah menghadapi beban berat.
Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri tercinta beliau, diisukan berbuat
serong dengan Shofwan bin Mu’athol.
Peristiwa ini bermula dari peristiwa perang Bani Musthaliq.
Menjelang keberangkatan ke Bani Musthaliq, bulan Sya’ban tahun 5 hijriyah,
seperti biasa Rasulullah Saw., mengundi siapa istrinya yang
diajak serta berperang. Hari itu, Aisyah dapat undian untuk menemani
Rasulullah. Biasanya bila bepergian, Aisyah yang berbadan kurus itu naik ke
atas haudah (semacam tenda kecil) yang diletakkan di
punggung unta.
Sepulang dari Bani Musthaliq, di sebuah tempat yang hampir
dekat dengan Madinah, Rasulullah dan kaum muslimin menginap beberapa malam karena kecapaian yang
teramat sangat setelah menempuh perjalanan jauh nan berat yang sangat
melelahkan.
Hingga suatu hari Rasulullah mengizinkan kaum
muslimin untuk meneruskan perjalanan. Saat itu, ketika buang hajat, Aisyah kehilangan kalung permata
Yaman. Ia terus mencari dan akhirnya ketemu. Namun, begitu
kembali ke tempat singgah pasukan Islam, ia sudah tertinggal rombongan. Mereka
yang mengangkat haudah (semacam tenda kecil) ke
punggung unta tak tahu bahwa di dalamnya tak ada Aisyah. mereka mengira Aisyah
sudah ada di dalam, hal ini dikarenakan memang Aisyah berperawakan kecil dan
ringan.
Aisyah lantas menyelimuti dirinya dengan
jilbabnya, kemudian berbaring. Ia yakin mereka akan kembali bila tahu
dirinya tertinggal, jadi lebih baik dia tetap di tempat itu hingga datang utusan yang
menjemputnya daripada mengarungi padang pasir tanpa pedoman dan tersesat.
Tak berapa lama, lewatlah Shofwan bin
Mu’athol, menunggang unta. Ia tertinggal kafilah kaum muslimin karena suatu
keperluan . Shofwan terkaget-kaget. Ia tahu bahwa itu
Aisyah, sebab sebelum turun ayat yang mewajibkan pemakaian jilbab, Shofwan
telah mengenali Aisyah.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,
istri Rasulullah di sini? Apa yang menyebabkan engkau tertinggal?” ucap Shofwan
spontan.
Tak sepatah kata pun diucapkan Aisyah.
Shofwan segera menundukkan untanya dan dia mundur sambil berkata : naiklah.
Aisyah pun
naik dan Shofwan menuntun unta itu. Setelah Aisyah naik, berangkatlah onta yang dituntun
Shofwan dengan bergegas, berjalan cepat dengan harapan mampu menyusul rombongan
yang lain. Tetapi tak terkejar pula, karena ternyata rombongan ingin
cepat-cepat sampai madinah dan segera beristirahat setelah mengalami perjalanan
yang cukup melelahkan.
Shofwan memasuki kota
madinah di siang hari disaksikan oleh banyak orang, sementara Aisyah di atas
ontanya, dan dibelakangnya ada pasukan tentara yang datang hampir bersamaan. Aisyah
pun masuk rumah Rasulullah. Dan (ketika itu) tak terlintas orang-orang
peristiwa itu akan menjadi buah bibir ataupun menimbulkan syak karena ia
terlambat dalam rombongan, juga dalam hati Rasulullah tidak pernah terlintas
prasangka buruk terhadap Shofwan, seorang muslim yang teguh imannya.
Namun, kesempatan itu
tidak mau di sia-siakan oleh gembong
munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Segera saja ia melempar isu, bahwa istri
seorang Nabi telah berbuat serong. Berita dusta itu menjalar bak api melahap
padang ilalang kering. Beberapa orang termakan isu. Hamnah bin Jahsy (saudara
kandung Zainab binti Jahzy, istri Rasulullah) yang tahu bahwa Aisyah mendapat
tempat melebihi istri yang lainnya, Misthah (pembantu Abu Bakar), dan Hassan
bin Tsabit turut memperkeruh suasana. Bahkan, ali bin Abu Thalib pun ikut
terpengaruh.
Suasana makin panas. Aisyah sendiri jatuh
sakit sepulang dari perjalanan itu (sakit hingga lebih sari dua puluh hari di rumah Ibunya). Tragisnya, Aisyah tak tahu menahu tentang
apa yang terjadi di luar. Ia tak mengerti bahwa ada peristiwa besar yang
menyangkut dirinya, yang berputar dari mulut satu ke mulut yang lain. Yang
dirasakan Aisyah, hanya Rasulullah sedikit berubah dari biasanya. Kasih
lembutnya terasa kering. Hanya itu.
Sampai suatu
hari Rasulullah berbicara di hadapan kaum muslimin di masjid. Dari atas mimbar
ia memuji Allah, lantas menyatakan sikapnya.
“Wahai
sekalian manusia. Kenapa orang-orang itu menyakiti keluargaku? Mereka berbicara
tentang sesuatu yang sama sekali tidak benar. Demi Allah, aku tidak melihat
keluargaku kecuali baik-baik selalu.”
Seorang sahabat Anshar, Usaid bin
Hudhair dari suku Aus, menyela, “Wahai Rasulullah, bila orang-orang itu dari
Aus, kami siap bereskan mereka. Dan bila mereka dari Khazraj, maka perintahkan
kami untuk menyelesaikan urusan engkau. Demi Allah, mereka itu orang-orang yang
layak dipenggal batang lehernya.”
Mendengar itu, Sa’ad bin Ubadah, yang
berdarah Khazraj naik pitam. Ia segera menimpali. “Demi Allah,
kamu tak akan bicara seperti itu kecuali karena engkau tahu gembong masalah ini
(Abdullah bin Ubay) dari Khazraj. Kalau saja ia dari kaummu, pasti bicaramu tak
seperti itu.”
“Pendusta kamu ini, demi Allah. Kamu hanyalah
munafik yang membela munafik,” balas
Usaid.
Suasana kian panas. Beberapa
orang nampak berlompatan. Keributan mulai muncul. Hampir saja orang-orang Aus
dan Khazraj saling baku hantam. Rasulullah segera turun dari mimbar.
Hampir satu bulan masalah ini
berjalan tanpa bisa dituntaskan kebenarannya. Sebenarnya keadaan
Rasulullah tidak lebih baik daripada Aisyah, Ia merasa tersiksa karena
percakapan orang-orang mengenai dirinya. Akhirnya, beliau pun meminta nasehat
dari orang-orang terdekatnya. Ia menemui Abu Bakar, Usamah bin Zaid dan Ali bin
Abu Thalib pun dipanggilnya untuk dimintai pendapat. Usamah ternyata menolak
keras tuduhan tersebut, itu bohong dan tidak punya dasar. namun, berbeda dengan
ali, Dia berkata : “Rasulullah perempuan masih banyak” sarannya supaya menemui
bujang pembantu Aisyah kalau-kalau ia dapat dipercaya. Dipanggillah pembantu
bujang tersebut, Ali segera menghampirinya dan memukulnya yang cukup membuat
bujang tersebut kesakitan. Seraya berkata : katakanlah yang sebenarnya kepada
Rasulullah..!!! “Demi Allah yang saya ketahui dia (Aisyah) adalah orang baik”
jawab pembantu tersebut.
Rasulullah mencoba menggali
kejujuran Aisyah. Ditemuilah istri tercintanya yang telah tinggal di rumah
orang tuanya, Abu Bakar ash Shiddiq. Aisyah hanya menangis.
“Wahai
Aisyah. Takutlah engkau kepada Allah. Bila engkau telah telah melangkah kepada
keburukan, bertaubatlah. Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya.”
Air mata Aisyah makin deras, darahnya mendidih, Tak ada kata yang mampu diucapkan. Ia
berharap bapak-ibunya memberi jawaban. Lama ditunggu, keduanya tak juga buka
suara. “Tidakkah engkau berdua menjawab
Rasulullah,” sahut Aisyah lemah sambil memandang kedua orang tuanya. “Kami sendiri tak mengerti harus menjawab
apa,” sahut Abu Bakar.
Setelah terdiam beberapa saat, Aisyah pun berkata :
“Demi Allah saya tidak bertobat kepada Allah seperti yang Anda sebutkan
itu, saya tahu kalau saya mengiyakan apa yang dikatakan orang, sedang Allah
maha tahu bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tidak
ada. Tetapi kalau pun saya bantah, kalian tidak akan percaya. Saya hanya bisa
berkata seperti apa yang dikatakan ayahnya Yusuf :
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ
الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
“maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (Qs. Yusuf : 18)
Setelah beberapa saat
turunlah wahyu Allah yang membersihkan nama Aisyah, Firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ
لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا
اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
(11)
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi
kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang
besar (Qs. An-Nur : 11)
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12)
Mengapa di waktu kamu
mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka
baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini
adalah suatu berita bohong yang nyata." (Qs. An-Nur
: 12).
Ikhwati fillah hafidhakumullah
Maka, selesailah fitnah
terhadap Aisyah yang membuat kekacauan di madinah dan sangat membebani
Rasulullah itu. Setelah peristiwa haditsul ifki terselesaikan,
Rasulullah dan penduduk madinah pun berjalan seperti sedia kala.
Kaum Muslimin, khususnya
Muhajirin termasuk Rasulullah merindukan Ka’bah. Mereka merasa tersiksa karena
tidak bisa menunaikan kewajiban Haji yang mana juga menjadi kewajiban nenek
moyang mereka sejak dahulu kala. Di samping itu, Muhajirin kaum sendiri pun
merasa tersiksa dan tertekan dalam pembuangan, kehilangan tanah air dan
keluarga. Tetapi, mereka yakin bahwa pertolongan Allah kepada Rasulnya dan kepada
mereka serta Allah akan mengangkat Agama Islam melebihi Agama-agama lainnya.
Mereka pun sangat merindukan hari itu, begitu pula Rasulullah sangat
merindukannya dan yakin sekali bahwa saat itu saatnya kini sudah dekat.
Pada suatu pagi, ketika
Rasulullah sedang berkumpul dengan sahabatnya di masjid (Nabawi), tiba-tiba
nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapatkan ilham mimpi
hakiki, bahwa insyaallah mereka akan memasuki masjidil haram dengan aman dan
tenteram, dengan kepala di cukur atau di gunting tanpa akan rasa takut. Serntak
mereka menjawab : Alhamdulillah..!!!! secepat kilat berita tersebut menyebar ke
seluruh penjuru madinah.
Tetapi bagaimanakah
caranya masuk masjidilharam? Dengan perang? Apa masyarakat Quraisy secara paksa
harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan
jalan?
Kemudian, Rasulullah
mengumumkan kepada khalayak ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam
bulan dzulhijah yang suci (di tahun ke-6 H). Namun, niat itu haruslah tertunda
karna dari pihak Quraisy menghalangi dengan segala kekuatan mereka kerahkan. Dengan
perundingan yang cukup panjang akhirnya disepakati perjanjian hudaibiyah.
Isi perjanjian
hudaibiyah tersebut adalah :
“inilah yang disetujui oleh Muhammadi bin Abdullah dan selanjutnya
perjanjian antara kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh
tahun (menurut mayaoritas ahli shiroh tetapi menurut al-Waqidy 2 tahun). Bahwa
barangsiapa dari golongan Quraisy menyebrang kepada Muhammad tanpa seijin
walinya, maka harus dikembalikan kepada mereka. Dan barangsiapa dari pengikut
Muhammad menyebrang kepada Quraisy tidak akan dikembalikan ; bahwa barangsiapa
dari masyarakat arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad
diperbolehkan dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy
juga diperbolehkan ; bahwa untuk tahun
ini Muhammad dan sahabatnya harus kembali meninggalkan makkah dengan ketentuan
akan kembali pada tahun berikutnya ; mereka dapat memasuki kota dan tinggal
selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang
bersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.”
Awalnya para sahabat
keberatan akan perjanjian ini, namun keputusan telah diambil Rasulullah dan
tiada jalan lain buat mereka kecuali harus kembali ke madinah dengan harapan akan
kembali ke makkah tahun depan. Sebagian mereka membawa pikiran mereka dengan
berat hati. Kalau bukan karena perintah Rasulullah mereka tidak akan dapat
menahan hati mereka. Akhirnya mereka berangkat pulang ke madinah. Ketika dalam
perjalanan pulang, turun lah wahyu :
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا (1) لِيَغْفِرَ
لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (2)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata (1)
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang
akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada
jalan yang lurus” (Q.s.
AL-Fath : 1-2)
Inilah yang saya maksudkan
dengan manhaj Allah dalam menyambut kemenangan da’wah. Setelah ujian haditsul
ifki yang sangat berat bagi Rasulullah ternyata di balik itu, Allah telah
menyiapkan kemenangan yang nyata sebagaimana dalam surat al-fath ayat ke 1
& 2 diatas.
Perjanjian hudaibiyah
adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Diantaranya adalah :
1.
Sejarah
mencatat bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan
pandangan yang jauh.
2.
Ini
adalah pertama kalinya kaum Quraisy mengakui muhammad bukan sebagai pemberontak
mereka melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah,
3.
Mengakui
pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam.
4.
Sebagai
bentuk pengakuan bahwa kaum muslimin berhak berziarah ke ka’bah serta melakukan
ibadah haji.
5.
Sebagai
pengakuan Islam adalah agama yang sah diakui di semenanjung Arab.
6.
Gencatan
senjata selama dua / sepuluh tahun membuat pihak muslimin merasa lebih aman
dari serangan Quraisy
Bukti nyata akan lompatan
besar kemenangan kaum muslimin adalah dua tahun pasca perjanjian hudaibiyah
rasulullah memasuki makkah dengan 10.000 kaum muslimin yang kita kenal dengan “fathu
makkah”. Padahal, 2 tahun sebelumnya hanya 1.400 orang.
Ikhwati fillah hafidhakumullah
Dari
kedua peristiwa diatas menginspirasi kita, sebuah narasi akan manhaj Allah
dalam Menyambut kemenangan da’wah.
Pertama,
isti’dad Nafsiy yakni
menyiapkan diri kita untuk menyambut kemenangan dakwah ini. Yang meliputi
membangun kekuatan keimanan dan soliditas fikroh. Dengan berbagai ujian, fitnah
ataupun celaan baik secara langsung ataupun tidak kepada kita, qiyadah kita
mupun jama’ah kita meneguhkan kepada kita bahwasannya kemenangan itu sangatlah
dekat.
Dalam
momentum ini marilah kita tata diri kita, menjadikan pribadi yang memiliki
keteguhan yang kuat akan kekuatan iman. Karena dengan quwwatul imaniyah itulah
akan memberikan kekuatan yang tidak pernah gentar menghadapi tantangan apapun.
Sebagaimana Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian
mereka tetap istiqama maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka
tiada (pula) berduka cita” (Q.s. Al-Ahqaf : 13)
Ketika kita berjuang
karena dilandasi karena quwwatul imaniyyah wal fikrah –kuatnya keimanan
dan ideologi, tiada suatu kekuatan apapun yang mampu menghalanginya, memupus
semangatnya kecuali atas izin Allah azza wa jalla,
Kedua, Optimalkan potensi diri. Setidaknya dalam dua hal yaitu menyelesaikan
problematika internal dengan menguatkan soliditas kader dan membangun hubungan
eksternal untuk meluaskan territorial dakwah. Menghadapi haditsul ifki Rasulullah
tidaklah berdiam diri ketika menghadapi tekanan berat yang dihadapi, beliau
berusaha menjaga stabilitas kaum muslimin di madinah disaat Abdullah bin Ubai
terus melakukan makar menghancurkan Rasulullah dan kaum muslimin.
Maka soliditas kader
harus menjadi prioritas utama untuk menjadi menyambut kemenangan da’wah kita.
Kemudian hubungan dengan eksternal juga harus kita lakukan dengan semaksimal
mungkin. indahnya ketika kita memaknai Tahun 2014 ini bukanhanya sekedar
politik tetapi sebagai tahun melayani. Dengan banyak silaturahim, insya
Allah dukungan terhadap da’wah ini akan semakin kuat. M 150 Bisa..!!!
Allahu Akbar...
Ikhwati fillah hafidhakumullah
Manhaj
ketiga, Senantiasa meluruskan Visi Dakwah. Perjuangan
kita haruslah memandang jauh ke depan. Sebagaimana Rasulullah memutuskan
menerima perjanjian hudaibiyah dengan pertimbangan yang sangat matang, melihat
jauh kedepan untuk kemaslahatan Islam dan sahabatnya. Beliau tidak mau
melewatkan momentum tersebut, yang belum tentu golongan Quraisy mau berunding
di kesempatan lain. Inspirasi bagi kita adalah marilah momentum 2014 ini kita
jadikan ajang perjuangan, momentum istimewa sebagai suatu sarana untuk
menyambut kemenangan dakwah kita.
Dan
haruslah peran Allah selalu kita sertakan dalam setiap langkah kita. Niat kita
bukan sekedar suksesi 9 April 2014 namun jauh lebih dari itu, kesempatan ini
sekaligus kita jadikan peluang indah membangun aset da’wah saat ini dan masa
depan. setelah kita bertekat bulat dengan dengan segala
potensi yang kita miliki, hanya kepada Allah kita berharap...
فَإِذا عزمت فتوكل على الله